UPAYA WUJUDKAN KESEJAHTERAAN DAN KEMANDIRIAN PETANI

Oleh : Ny. Nur Sukmawati

PELUANG DAN TANTANGAN

Tantangan bangsa Indonesia di masa datang semakin berat. Memang aspek pembangunan sebenarnya tidak hanya bertumpu pada bidang pertanian saja, sebab yang sedang dibangun adalah bangsa dan negara. Tetapi karena sebagian besar bangsa Indonesia hidup dan bersentuhan dengan pertanian, maka pertanian menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.

Sektor pertanian sebagai bagian dari perekonomian nasional, sebenarnya masih memiliki kemampuan sebagai kekuatan sentral atau soko guru. Sebab selain berperan sebagai penyedia bahan pangan dan sandang bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sektor pertanian sekaligus juga berperan sebagai pendukung sektor lain – terutama dalam menyediakan bahan baku bagi sektor industri – dan sebagai penghasil devisa bagi negara. Namun dengan mengglobalnya iklim perdagangan bebas dan kemajuan di bidang teknologi dan informasi, sektor pertanian bukan saja mendapat peluang untuk berkembang lebih cepat, melainkan juga mendapat tantangan-tantangan baru yang sangat berat.

Gejolak perdagangan bebas yang terus berkembang, telah melibatkan ekonomi Indonesia pada perdagangan global yang lebih kompetitif, liberal dan kapitalistik. Sektor pertanian sebagai sektor yang diharapkan dapat tetap mencapai pertumbuhan dan sekaligus pemerataan, tidak terlepas dari keharusan untuk meningkatkan daya saing. Sebab sektor pertanian yang selama ini selalu dalam proteksi non-tarif, akhirnya dimasukkan dalam disiplin GATT (General Agreement on Trade and Tariffs) dan juga sudah dimasukkan dalam skema Common Effective Preferential Tariffs (CEPT) milik AFTA (Asean Free Trade Area).

Menghadapi kenyataan ini, seluruh komponen bangsa harus tanggap, responsif dan antisipatif terhadap perkembangan yang terjadi, termasuk bagaimana mewujudkan pertanian Indonesia yang berhasil, modern dan mandiri. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa sektor pertanian masih selalu dihadapkan pada berbagai simpul kritis seperti pemasaran, pengembangan mutu, pengembangan investasi, pengembangan usaha dan kelembagaan yang mandiri serta independen.

Karena itu perlu adanya upaya peningkatan peranserta petani dan keikutsertaan seluruh komponen dalam nuansa kemitraan yang saling menguntungkan dengan menciptakan iklim yang kondusif dalam berbagai kebijakan, keterpaduan dan koordinasi antar sub sektor dan antar sektor dari mulai perencanaan hingga operasionalisasi pelaksanaannya. Dengan kata lain, harus benar-benar dilakukan reevolusi terhadap segala yang ada kaitannya dengan dunia pertanian. Dan upaya ini harus terus dilakukan secara berkesinambungan dan konsepsional agar memberikan hasil yang maksimal seperti yang diharapkan.

Konsep pembangunan yang lebih mengedepankan fisik dan materi semata, ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan semula. Konsep tersebut harus diubah atau ditinggalkan sama sekali. Yang harus didahulukan adalah kesejahteraan dan keadilan. Baru dari situ menuju ke arah pertumbuhan. Sudah saatnya Indonesia mengembangkan konsep pembangunan growth with equity atau pertumbuhan dengan basis atau landasan keadilan.

Untuk memanfaatkan peluang yang muncul dari dampak perubahan lingkungan strategis, maka kegiatan pertanian, sekecil apapun, harus mulai dipandang sebagai kegiatan industrial yang dilaksanakan atas dasar keterpaduan dalam suatu sistem, berorientasi pasar, memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal, dikelola secara profesional, didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan (ramah) lingkungan dan dikoordinasikan oleh kelembagaan yang kokoh, mandiri serta independen.

PERAN PERTANIAN

Pertanian seharusnya merupakan bidang usaha yang layak dibanggakan para penggelutnya, yaitu para petani. Sebab di samping bisa memberikan penghasilan yang terbilang besar, juga mampu memenuhi kebutuhan pangan dan sandang bagi mereka yang tidak bergelut di bidang pertanian. Karena itu, seharusnya sektor ini dapat menyerap angkatan kerja. Paling tidak akan menjadi salah satu pilihan generasi muda yang kebetulan belum tertampung di bidang pekerjaan lainnya. Bukan sebaliknya, menjadi bidang yang paling disingkiri generasi muda.

Tetapi karena pemilikan lahan yang rata-rata sempit, bahkan banyak petani yang tidak memiliki lahan, dan tata laksana usaha yang masih sangat konvensional serta termasuk jenis usaha yang HEIA (High External Input Agriculture) atau ketergantungan pada masukan dari luar yang sangat tinggi, maka sektor pertanian hingga kini masih dituding sebagai penyebab kemiskinan terbesar di Indonesia. Sebab petani Indonesia masih lebih lekat dengan sebutan ’gurem’ daripada sebagai penyedia atau produsen pangan.

Sistem pertanian konvensional yang terlalu terfokus pada komoditas tunggal, orientasi pada kebijakan para birokrat, eksploitasi unsur hara dan mengabaikan dampak lingkungan, lahan tadah hujan dan sumberdaya setempat yang diabaikan, penyebaran produk yang tidak sempurna, eksploitasi tenaga kerja pria dan mengabaikan pengetahuan lokal petani, merupakan rangkaian penyebab keterpurukan pertanian Indonesia. Belum lagi kalau mencermati kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak berpihak pada petani atau masih menempatkan petani pada posisi yang membingungkan, maka makin lengkap penderitaan petani Indonesia.

Sementara itu, sudah terlalu lama petani menjadi objek perahan birokrat, pengusaha, pedagang dan konsumen, serta usaha yang mereka geluti lebih bersifat sosial daripada menjadi sumber kesejahteraan. Oleh karena itu, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberdayakan petani dalam sebuah lembaga yang kokoh, mandiri dan independen sehingga mereka mampu mengartikulasikan pandangan dan kepentingan mereka tanpa harus tergantung pihak lain.

Selama ini petani sebagai pelaku utama sektor pertanian selalu menjadi objek mainan kebijakan pemerintah, pedagang, oknum pemerintah yang berjualan cap maupun oleh sementara kalangan politisi. Produksi yang dihasilkanpun nilainya lebih bersifat sosial, tanpa penghargaan yang layak dan berapresiasi.

Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa pembangunan sektor pertanian masih dilakukan secara partial. Hal ini terlihat dari banyaknya departemen atau instansi yang terlibat dalam sektor pertanian. Padahal departemen atau instansi itu umumnya berpenyakit ego sectoral. Kalau tujuan pembangunan ingin meningkatkan kesejahteraan, taraf hidup dan berkeadilan, maka sistem dan penyakit semacam itu harus dihilangkan dulu. Biarkan petani tumbuh kembang dengan kemampuannya sendiri tanpa intervensi siapapun. Kalaupun ada yang ingin melibatkan diri, tidak lebih hanya berperan sebagai pembuka wawasan dan apresiasi. Sebagai motivator dan dinamisator atau sebagai fasilitator. Tidak lebih.

Konsolidasi sektor pertanian selain didasarkan atas perkembangan situasi global strategis, aspek permintaan dan teknologi, juga mengacu pada kemampuan sumberdaya yang ada atau tersedia. Dengan pola usaha pertanian di Indonesia yang mayoritas masih merupakan unit usaha sangat kecil dan dilaksanakan secara konvensional dengan sistem HEIA (High External Input Agriculture), sulit rasanya mendongkrak keterpurukan sektor pertanian Indonesia kalau hanya mengandalkan kebijakan pemerintah pusat seperti yang selama ini berlangsung.

Sekecil apapun, harus ada terobosan baru yang akan lebih merangsang para petani untuk meningkatkan usahanya. Bukan dengan sistem kredit atau subsidi, tetapi dengan pendidikan, pelatihan, pendampingan dan kemitraan. Selain itu, pola atau sistem pertanian Indonesia yang konvensional dan bersifat HEIA harus diubah dengan konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, ramah lingkungan dan mandiri, atau yang dikenal sebagai konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture).

WAJAH PERTANIAN INDONESIA

Mitos bahwa Indonesia merupakan negara agraris seharusnya sudah dihapus. Sebab output maupun nilai ekspor komoditi hasil pertanian Indonesia masih sangat rendah. Bahkan lebih rendah dari negara yang selama ini tidak pernah disebut sebagai negara agraris. Perkembangan teori competitive advantage meninggalkan teori comparative advantage justru akan semakin membuat Indonesia tertinggal jauh dari sesama negara Asean yang paling lemah sekalipun. Kalau ingin tetap mempertahankan julukan negara agraris dan tidak ingin tertinggal dari negara lain, Indonesia perlu mengadakan reevolusi dan transformasi total dan besar-besaran. Terutama mengubah mentalitas budaya dan meningkatkan kualitas intelektual sumberdaya manusia yang terlibat di sektor pertanian.

Kemerosotan utama sektor pertanian Indonesia disebabkan oleh bias dikotomi urban-rural, di mana urban lebih indentik dengan modern, titel kesarjaan, intelektualitas, industrialisasi, mekanisasi, otomatisasi dan robotisasi yang bersifat eksklusif. Sementara rural dianggap primitif, tradisional dan kurang rasional, karena itu cukup diberi injeksi secukupnya, sekadar untuk survive, dengan pendekatan basic needs saja. Subsidi yang diberikan hanya berupa sarana produksi pertanian seperti irigasi, pupuk kimia, pestisida dan program seperti Bimas, Inmas dan Inpres. Petani tidak diberi dan tidak memperoleh nilai tukar, terms of trade yang layak sehingga mereka mempunyai daya beli dan pendapatan tinggi yang merangsang produksi pertanian berlimpah dan mengalami surplus.

Di Indonesia, petani dipelihara secara subsistens dan harga beras dimantapkan untuk melindungi konsumen perkotaan dalam rangka tenaga kerja murah. Pilihan proteksi yang pernah dilakukan Indonesia terhadap produk pertanian, ternyata hanya memanjakan petani tanpa mampu menghasilkan prestasi seperti yang dicapai petani-petani Thailand.

Dalam konteks Indonesia masa datang, pembangunan sektor pertanian memerlukan pendekatan keterkaitan terpadu yang tidak memilah dan memisahkan sektor pertanian dengan sektor lainnya. Sebab jika selalu dipertentangkan, maka akan sulit sekali menciptakan suatu sektor pertanian yang tangguh. Keberhasilan industri pangan di USA maupun Eropa justru karena adanya simbiose yang erat antara petani dengan produsen dalam keterkaitan pemasok dan pemakai bahan baku secara saling menguntungkan tanpa hubungan antagonistis. Sektor pertanian memperoleh nilai tukar wajar dan layak sehingga tercipta simbiose mutualis.

Pendekatan untuk sektor pertanian masa datang harus mengalami perombakan drastis dari pola sinterklas, charity, belas kasihan, subsidi berupa derma dari orang kota kepada orang desa, menjadi suatu pola trade, not aid. Memberikan daya beli pada para petani. Menciptakan ekonomi modern rasional di desa, menghentikan cara memperlakukan orang desa sebagai yatim piatu dan fakir miskin, tetapi membangkitkan harkat martabat petani dengan memberikan daya beli yang merupakan hak mereka. Investasi untuk mengubah pedesaan menjadi kekuatan dinamik, modern, produktif dan kreatif harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan sektor pertanian masa depan. Dan hal ini tidak mungkin dilakukan dengan cara paternalistik, birokratik dan arogansi elite urban yang umumnya mematikan kreativitas dan dinamika massa serta populasi rural.

Bila sektor ekonomi dimodernisir dan industrialisasi digalakkan, maka sektor pertanian harus diletakkan dalam posisi sederajat dan dihormati oleh sektor modern, sehingga para petani juga akan mampu memodernisasi diri serta terintegrasi dengan seluruh sektor ekonomi modern yang sudah lebih dulu diindustrikan, dimekanisasikan dan direkayasa lewat proses high tech.

Dalam sistem ekonomi pasar, iklim segar yang merangsang masyarakat untuk berprestasi harus dijamin agar kekuatan kreatif dapat berkembang secara maksimal. Paling tidak imbalannya harus memadai agar para ilmuwan rela masuk kubangan lumpur, bergulat dengan tumbuhan, tanaman, sayuran, buah-buahan dan dedaunan yang harus diriset, disilangkan dan atau direkayasa. Bila perlu dengan ilmu biogenetika yang canggih untuk menghasilkan spesies baru, unggulan dan laris seperti hasil riset para petani dan ilmuwan pertanian Thailand.

Sistem ekonomi yang kurang memberi imbalan layak pada peneliti dan pakar untuk berkiprah di sektor pertanian, tentu saja membuat pertanian hanya diidentikkan dengan petani kumuh yang sekadar patut dikasihani dan disedekahi dengan program Inmas, Bimas dan Inpres. Karena itu program yang bersifat sedekah ini harus segera dirombak total, diganti dengan program realokasi sumber dana dan transfer daya beli ke sektor pertanian secara fair sehingga seluruh sektor akan mengalami periode dan kondisi kemitraan yang sehat di mana sektor pertanian siap berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dalam relasi businesslike yang lugas, saling menguntungkan dan saling menghargai.

Program proteksi floor price yang diberlakukan pada cengkeh dulu misalnya, hanya tampak muluk dalam ide tapi di lapangan justru pedagang yang menikmati nilai tambah dari program tersebut dengan memungut rente ekonomi. Pola proteksi seperti itu harus dihindari sebab tidak akan mencapai tujuan mulia, mengalihkan daya beli riil kepada yang berhak dan membutuhkan, yaitu petani.

Pendekatan dengan pola subsidi karitatif harus secepatnya diganti dengan pendekatan hak dan terms of trade yang fair. Sebab dengan terms of trade yang timpang seperti sekarang, di mana sektor pertanian berada pada posisi pasrah, didikte, dan daya beli yang dipaksakan oleh sektor urban/modern demi proses industrialisasi, melahirkan dikotomi kota – desa serta gap pendapatan yang sangat besar antara para petani dengan pekerja sektor urban.

Tragedi dan ironi sejarah telah membuktikan bahwa suatu rezim totaliter yang tidak mengabdi pada masyarakat secara konkret di lapangan, dengan mekanisme alokasi sumberdaya dan pemberian kesempatan yang fair kepada semua pihak untuk berprestasi, pasti akan mengalami kegagalan.

Berangkat dari kondisi dan kenyataan itulah maka tulisan ini disusun dengan harapan bisa menjadi bahan acuan atau pertimbangan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian di Indonesia agar kesejahteraan petani benar-benar bisa terwujud seperti yang didambakan selama ini.

KONSEP PERTANIAN TERPADU

a. Pengertian dan Ruang Lingkup

Secara umum, ruang garap konsep pertanian terpadu melingkupi persiapan, pengadaan dan penyaluran sampai pada kegiatan distribusi dan pemasaran produk, baik primer maupun olahan. Dengan demikian konsep pertanian terpadu dalam pengertian umum merupakan suatu sistem yang terdiridari : (1) subsistem persiapan, pengadaan dan penyaluran, teknologi dan pengembangan sumberdaya pertanian; (2) subsistem produksi pertanian atau usahatani; (3) subsistem pengolahan hasil-hasil pertanian; (4) subsistem distribusi dan pemasaran hasil pertanian.

Karena konsep ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir, maka keberhasilan pengembangannya sangat tergantung pada keseimbangan pengembangan dan pertumbuhan yang dicapai pada setiap simpul yang menjadi subsistemnya. Kata kunci yang dapat menjamin konsep ini berkembang baik adalah keterpaduan dalam pengembangan aktivitas di setiap subsistem dan keterkaitan yang intens antar subsistem.

Lingkup utama dalam penerapan konsep ini penekanannya pada keterpaduan perencanaan subsistem yang satu dengan subsistem lainnya. Karena itu koordinasi dalam perencanaan, pembinaan dan pengembangan mutlak diperlukan.

b. Pembangunan Wilayah Pedesaan dan Permasalahannya

Bila ditelaah bagaimana sebenarnya difusi inovasi ke daerah pedesaan, seperti teknik-teknik baru, ide-ide baru dan rekayasa kelembagaan baru atau institutional building, sebenarnya lebih banyak tergantung pada faktor-faktor internal di pedesaan. Inovasi difusi pada dasarnya didorong oleh saluran komunikasi atau struktur sosial seperti fasilitas transportasi, sistem nilai-nilai, kelembagaan, wiraswasta, rumah tangga dan sebagainya. Persoalannya, seberapa cepat inovasi difusi itu berlangsung, sistem yang bagaimana dapat mendorongnya, pesan-pesan prioritas dan wawasan apa yang terutama akan ditransmisikan serta dengan cara apa hal tersebut dapat diimplementasikan secara efisien.

Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pedesaan selama ini umumnya menunjukkan bahwa inti esensial dari proses pembangunan pedesaan adalah transformasi struktural masyarakat pedesaan dari kondisi pedesaan agraris tradisional mencoba menjadi pedesaan berbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan bersistem agribisnis. Sementara yang menjadi inti dari struktur ekonomi pedesaan adalah yang terkait dengan sistem industri, sistem perdagangan dan sistem jasa nasional maupun global. Karena itulah yang menjadi inti keterpaduan.

1)      Wawasan Agro-ekosistem. Upaya untuk meletakkan kerangka landasan pembangunan pertanian selama Orde Baru pada dasarnya memprioritaskan pada wawasan produksi dan pelestarian swasembada padi dan sama sekali mengabaikan wawasan keterpaduan dan keterkaitan. Apalagi wawasan lingkungan. Padahal wawasan lingkungan sangat penting dalam memberikan arah agar setiap kegiatan di bidang pertanian selalu memperhatikan kondisi dan potensi sumberdaya alam dan lingkungannya, baik fisik maupun non fisik. Hal ini bertujuan agar kelestarian sumberdaya alam dan kualitas hidup seluruh makhluk lebih terjamin untuk menunjang upaya pembangunan yang berkelanjutan. Ketika issue globalisasi makin kencang dihembuskan oleh negara-negara kapitalis, dan munculnya kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah, barulah terlihat kenyataan bahwa perlu menata kembali landasan sistem pengelolaan sumberdaya pertanian. Namun penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yang berwawasan ekosistem. Walaupun wawasan Agro-ekosistem merupakan suatu pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi ciri-ciri spesifik terpenting menyangkut empat sifat pokok, yaitu kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity). Secara sederhana bisa dikatakan, kemerataan merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan di antara masyarakatnya. Keberlanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya walau pun mendapat gangguan. Kestabilan merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Produktivitas adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya.

2)     Wawasan Wilayah/Regional. Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, seharusnya pembangunan wilayah mempunyai sentuhan-sentuhan khusus untuk lebih memperhatikan aspek-aspek sumberdaya dasar (initial resource endowment resources) serta aspek-aspek lingkungan hidup. Dengan demikian konsepsi ini sangat berkaitan dengan aspek-aspek yang menyangkut pengelolaan sumberdaya secara optimal, dalam arti menyangkut persoalan kualifikasi dampak (impact multiplier) – terutama menyangkut apa (siapa) yang harus menanggung beban dan apa (siapa) yang memperoleh manfaat. Dampak-dampak yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya pemanfaatan sumberdaya wilayah tersebut pada dasarnya dapat bersifat direct, indirect maupun induced. Namun dalam sistem ekonomi pasar yang dianut pemerintah Orde Baru, yang semata-mata hanya mengandalkan pada manfaat individu (private) tanpa mempertimbangkan aspek-aspek spasial (wilayah/regional), jelas mengabaikan persoalan kualifikasi dampak yang mungkin dapat terjadi sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya. Kualifikasi dampak tersebut menyangkut tentang seberapa besar manfaat peningkatan hasil pembangunan sumberdaya wilayah tersebut akan mampu ditangkap oleh masyarakat wilayah yang bersangkutan secara lestari (dalam bentuk pendapatan maupun ketenagakerjaan). Bila wilayah tidak mampu menangkap dampak tersebut, sangat dikhawatirkan bahwa pembangunan sumberdaya semacam itu hanyalah akan lebih merupakan eksploitasi sumberdaya wilayah. Inilah awal timbulnya kebocoran (regional leakages) manfaat wilayah yang biasanya akan diikuti oleh mengalirnya sumberdaya produktif ke luar wilayah yang bersangkutan. Salah satu contoh adalah pembangunan pada subsektor pertanian tanaman pangan, di mana aspek lahan merupakan komponen utama yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh faktor produksi lainnya. Berdasarkan kualifikasi dampaknya, pembangunan sumberdaya lahan untuk peningkatan produksi pangan, terutama dilakukan pada lahan-lahan sawah beririgasi, mempunyai peran yang sangat besar pada pembangunan wilayah. Kegiatan tersebut dapat dipandang sebagai pendorong dalam demand side development strategis bagi wilayah yang bersangkutan. Strategi peningkatan produktivitas pangan akan meningkatkan produksi agregat pangan sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani wilayah bersangkutan. Peningkatan pendapatan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan permintaan barang dan jasa sehingga menarik investasi ke dalam wilayah itu. Kecenderungan terjadinya pergeseran (konversi) lahan pertanian produktif (sawah) ke peruntukan di luar pertanian akhir-akhir ini sebenarnya dapat ditafsirkan sebagai tindakan disinvestment karena terkandung kerugian sosial yang sangat besar. Membiarkan kesalahan alokasi (misallocation) sumberdaya pertanian dalam sistem pasaran bersaing bebas bukan hanya akan mengancam ketersediaan pangan dengan segala konsekuensi dan risikonya, tetapi juga memutus keterkaitan ke muka dan ke belakang dengan kegiatan ekonomi lain yang komplementer, serta memberikan dampak kerugian sosial yang besar pula. Bila pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pertanian hanya diserahkan pada mekanisme pasar berdasarkan land rent yang maksimal, yang hanya dilandasi oleh pertimbangan besarnya location rent semata-mata, maka areal sawah semakin lama semakin menyusut.

3)     Teknologi. Keberhasilan pengembangan komoditas pertanian unggulan tidak dapat dilepaskan dari kemampuan dalam penguasaan dan pengembangan teknologi. Kondisi pertanian dan pedesaan yang bervariasi antar wilayah jelas menuntut pemilihan dan perakitan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan setempat. Dalam kaitan ini, perakitan teknologi senantiasa diupayakan bersifat tepatguna, dalam pengertian bahwa paket teknologi harus mampu meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, peningkatan produksi, mutu dan hasil serta meningkatkan nilai tambah. Untuk itu penerapan teknologi harus disesuaikan dengan agro-ekosistem setempat. Perakitan teknologi yang spesifik lokasi dilakukan dengan pendekatan sistem usahatani. Kondisi pertanian dan pedesaan di Indonesia cenderung masih bersifat subsisten, tradisional dan berskala kecil. Karenanya teknologi tepat guna yang diterapkan harus berciri skala kecil, mempunyai daya serap tenaga kerja besar dan memerlukan investasi yang relatif kecil. Macam teknologi akan memberikan pengaruh terhadap proses produksi, apakah akan meningkatkan produktifitas, menghemat/menurunkan faktor produksi, meningkatkan kualitas hasil, nilai tambah, membuka peluang pasar baru dan rekayasa sosial berupa perangkat lunak sebagai penggerak kegiatan berproduksi serta penerapan teknologi seperti pengorganisasian, kelembagaan dan pengelolaan. Untuk merumuskan langkah-langkah operasional alih teknologi, perlu pemahaman siapa pengguna teknologi. Dengan begitu penyediaan teknologi harus memperhatikan bukan hanya keragaman agro-ekosistem, tetapi juga keragaman karakteristik pengguna, kelayakan teknis dan kelayakan sosial-ekonomi

4)     Pengembangan Agroindustri. Dilihat dari aspek diversifikasi secara vertikal, pengembangan komoditas mencakup pula aspek agroindustrinya. Kegiatan ini mengolah komoditas pertanian sebagai bahan baku menjadi bahan olahan jadi atau setengah jadi. Integrasi produksi komoditas pertanian dengan agroindustri diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah, memperluas kesempatan kerja, menganekaragamkan bahan makanan dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Dengan meningkatnya pendapatan, permintaan bahan makanan olahan makin meningkat pula. Hal ini terjadi baik di pasar domestik maupun pasar internasional.

5)     Iklim Finansial dan Perkreditan Pedesaan. Program pembangunan pertanian atau pedesaan di Indonesia umumnya disertai dengan program kredit, baik dalam bentuk insentif maupun modal kerja, atau subsidi untuk pengadaan faktor-faktor produksi usahatani. Akibatnya muncul sejumlah masalah yang harus ditanggung oleh negara. Masalah itu antara lain tingginya biaya dalam usaha distribusi kredit, kemampuan membayar kembali para petani yang sangat rendah sehingga jumlah tunggakan dari tahun ke tahun terus menumpuk, di samping sulitnya mengajak petani untuk menabung ke dalam sistem kredit. Tentang rendahnya kemampuan untuk membayar kembali kredit bisa jadi disebabkan oleh kurangnya penyuluhan mengenai penggunaan dan keharusan membayar kredit, atau karena produktifitas usahatani yang relatif rendah, tidak terjaminnya pasar sehingga harga produk pada musim panen raya relatif rendah, atau masalah lain yang menyangkut status sosial, kepentingan yang berbeda dan sebagainya. Oleh sebab itu, kalau program ini akan diteruskan, maka harus dilakukan secara hati-hati. Sebab pemberian kredit lunak (tingkat bunga rendah) seringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangka panjang.

6)     Harga dan Tataniaga. Kebijaksanaan harga dan tataniaga produksi dan pemasaran juga merupakan penyebab perbedaan pendapatan di pedesaan. Tingginya marketing margin menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan dalam perolehan nilai tambah antar pelaku usahatani. Harga dan tataniaga menjadi masalah karena ketidaktegasan birokrat dalam mengawal aturan yang sudah mereka tetapkan sendiri, di samping ketidakmampuan lembaga tataniaga seperti koperasi dan Bulog dalam menjalankan fungsinya. Karena itu perlu adanya revolusi total terhadap lembaga tataniaga serta birokrat yang terkait dengan masalah pertanian.

7)     Kelembagaan. Selama ini belum ada lembaga yang berkaitan dengan pertanian yang mampu mengkombinasikan secara optimal dalam pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha sesuai dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Karena itu tidak perlu dipaksakan semua kegiatan yang berkaitan dengan pertanian berada dalam cakupan unit kegiatan KUD. Dalam operasionalisasinya, konsep pengembangan pertanian terpadu yang berkelanjutan dan mandiri di tingkat lokalita, kawasan pedesaan yang sangat beragam baik agro-ekosistem, sarana, prasarana maupun sosial budayanga, perlu adanya perbaikan mulai dari aspek manajemen, sosial maupun teknologi. Dengan demikian baru dapat diwujudkan strategi pengembangan pedesaan terpadu yang andal dan spesifik lokalita (wilayah).

c. Pengelolaan Sumberdaya

Pengelolaan dan pengembangan sumberdaya, baik alam maupun manusia, dihadapkan pada kenyataan bahwa sumberdaya adalah suatu potensi yang dinamis. Selalu berbeda dan berubah menurut waktu, ruang, jumlah dan kualitas. Mengingat potensi dan kapasitas sumberdaya yang sangat bervariasi di antara wilayah dan pulau-pulau yang ada, maka pendekatan pengelolaan dan pengembangannya harus berorientasikan pada pemanfaatan (use-oriented) dan sekaligus resource-oriented. Artinya, tidak semata-mata didasarkan atas pertimbangan ekonomi melainkan juga memperhatikan kemampuan penyediaan sumberdaya itu sendiri secara kuantitas dan kualitas. Mengingat banyak sektor yang berkepentingan dengan sumberdaya tersebut, maka untuk mengoptimalkan pemanfaatannya perlu dilakukan secara terpadu, baik antar program dalam satu sektor maupun antar sektor yang terkait.

Bagi sektor pertanian, dasar pendekatan pengembangannya sudah jelas, yaitu melalui konsepsi pengembangan sistem yang terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri dalam rangka mewujudkan keberhasilan dan kesejahteraan petani, yang berarti juga ikut mengembangkan wilayah pedesaan di mana para petani tinggal. Apabila dikaitkan antara konsepsi pengelolaan dan pengembangan sumberdaya dengan konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri, maka akan tampak adanya benang merah yang tersimpul dalam beberapa hal, seperti :

1)      Partisipasi Keluarga Petani. Usaha pertanian di Indonesia dicirikan oleh dominasi petani sebagai produsen utama, dengan pemilikan lahan yang relatif sempit dan mengusahakan aneka ragam komoditas, di samping kondisi lain yang pada umumnya kurang menguntungkan dalam persaingan pada sistem pasar bebas. Sasaran penerapan konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri pada akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan para petani. Arah pengembangan konsep yang memihak pada para petani ini menghendaki partisipasi aktif keluarga petani. Upaya meningkatkan efisiensi, mereka dituntut untuk bekerjasama, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya. Keterlibatan keluarga sudah harus dilakukan sejak perencanaan, membuat konstruksi sampai dalam operasional (budidaya, pemeliharaan, produksi) hingga pemasaran. Untuk itu peningkatan sumberdaya manusia (petani dan keluarganya) sangat diperlukan agar memiliki pengertian dan pemahaman dalam penerapan konsep sehingga dicapai efisiensi dan efektifitas.

2)     Mengurangi Campurtangan Pemerintah.

3)     Spesifik Sumberdaya dan Spesifik Tujuan. Penerapan konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri senantiasa didasarkan pada kondisi obyektif spesifik lokalita. Aspek spesifik lokalita ini juga berlaku bagi pengelolaan dan pengembangan sumberdaya. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa sumberdaya yang ada akan sangat mempengaruhi kebijaksanaan operasionalnya, baik dalam rangka meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatannya maupun kelestariannya.

d. Iklim Usaha yang Kondusif

Iklim kondusif untuk proses transformasi pembentukan barang dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan bangsa, yang diharapkan disumbangkan dari sektor pertanian, sangat diperlukan. Dan iklim ini terutama diharapkan dari perangkat kebijakan dan pengaturannya, termasuk di dalamnya adalah pembuat kebijakan atau peraturan itu. Sebab iklim usaha di bidang pertanian yang benar-benar kondusif akan memberikan kemudahan, dorongan, perlindungan, arah, takaran dan standard yang tepat agar dapat mewujudkan transformasi sektor pertanian dari subsisten konvensional menjadi terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri.

Pendalaman struktur pertanian menjadi sangat penting mengingat berbagai heterogenitas di dalamnya. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang tepat agar pembangunan pertanian dapat mengantarkan sektor pertanian pada kondisi yang tangguh, maju dan efisien. Persyaratan yang muncul adalah upaya-upaya pengelolaan sumberdaya yang lebih efisien dan optimal. Nuansa yang perlu dicermati dalam hal ini adalah keinginan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat (petani dan keluarganya), meningkatkan pengertian dan pemahaman petani terhadap kegiatan usaha yang digelutinya dengan memperhatikan aspek-aspek spesifikasi sumberdaya serta spesifikasi tujuan pemanfaatan sumberdaya. Semuanya akan tercapai manakala didukung oleh berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, sumberdaya manusia dan faktor pendukung lainnya. Sementara sistemnya disebut Sistem Pertanian Terpadu, Berkelanjutan, Berwawasan Lingkungan dan Mandiri.

Konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, ramah lingkungan dan mandiri atau yang juga sering disebut dengan konsep LEISA, tidak hanya bisa diterapkan untuk usaha pertanian dalam skala besar (makro), tetapi juga bisa diaplikasikan pada unit usaha pertanian berskala sangat kecil (mikro) atau family farm.

Persoalannya, kesiapan sarana dan prasarana pemasaran produk pertanian masih sangat kurang. Dengan karakteristik produk yang mudah rusak, bulky dan sangat tergantung pada iklim serta musim, maka instabilitas harga merupakan ciri yang menonjol dari komoditas hasil pertanian. Implikasinya, dari bentuk bahan baku sulit sekali untuk meningkatkan nilai tambah dari produk-produk pertanian. Dan sebagai proses kelanjutan dari kondisi tersebut akan berimbas pula pada perolehan pendapatan petani sebagai produsen.

Mengingat karakteristik produk pertanian yang bersifat bulky dan mudah rusak (perishable), maka dalam pengembangannya perlu diupayakan agar dikaitkan dengan pola industri pengolahan dan penyimpanan hasil. Dengan demikian sekaligus akan menumbuhkan kegiatan off farm (diversifikasi usaha) yang akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat.

Berkembangnya perekonomian masyarakat pedesaan tersebut diharapkan akan merupakan sumber pertumbuhan baru. Untuk mewujudkan hal itulah konsep pertanian terpadu mutlak hadir. Sebab inti dari konsep pertanian terpadu adalah :

  • Mengintegrasikan beberapa unit usaha di bidang pertanian
  • Dikelola secara terpadu
  • Berorientasi ekologis
  • Peningkatan nilai ekonomi
  • Efisiensi dan produktifitas tinggi

Sementara sumber-sumber yang diharapkan menjadi penopang pertumbuhan dan akan sangat mendukung pembangunan pertanian adalah :

  1. Yang berkaitan dengan peningkatan produksi dan produktifitas seperti diversifikasi, intensifikasi, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  2. Yang berkaitan dengan nilai tambah seperti peningkatan jenis usaha yang bernilai tinggi, peningkatan jenis produk olahan, mutu dan cara mengemas.
  3. Yang berkaitan dengan pemenuhan permintaan konsumen yang selalu berubah dan ingin lebih baik seperti jenis komoditas baru dan jenis produk baru.
  4. Yang berkaitan dengan kelembagaan seperti penciptaan iklim usaha yang merangsang pertumbuhan ekonomi, investasi dan pembinaan hubungan yang saling menguntungkan antar subsistem yang ada.

Kaidah yang digunakan dalam penerapan sistem pertanian terpadu adalah relasi antara tanaman (plant), binatang (animal) dan manusia (man).

Tanaman, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan (juga kehutanan), tidak hanya menghasilkan pangan (food) sebagai produk utamanya, tetapi juga menghasilkan limbah yang oleh sistem pertanian ’’Revolusi Hijau’’ terabaikan. Padahal limbah-limbah tersebut, hanya dengan cara-cara sederhana dapat diubah menjadi pakan (feed) yang berkualitas bagi hewan ternak. Dan pakan tersebut oleh hewan ternak dapat ditransformasikan menjadi bahan pangan yang bermutu bagi manusia, seperti daging, susu, telur dan lain-lain.

Hewan ternak di samping menghasilkan produk utama berupa daging, susu, telur dan lain-lain, juga menghasilkan kotoran (feses) dan urine yang dalam sistem pertanian ’’Revolusi Hijau’’ juga diabaikan. Padahal limbah-limbah tersebut dengan cara sederhana dapat diubah menjadi kompos bermutu. Kompos dapat dimanfaatkan dalam proses produksi pertanian, sehingga seluruh komponen yang terkait menjadi lebih efisien dan tanpa meninggalkan limbah (zero waste).

Manusia sebagai pengkonsumsi produk tanaman dan hewan ternak, dengan akal, pikiran, tenaga dan keterampilannya, dapat menjadi media sehingga dicapai tingkat efisiensi tinggi dari komponen-komponen yang saling berkait tersebut. Dengan demikian, secara tidak langsung tanaman, binatang dan manusia bersinergis. Bukannya saling merusak hanya untuk kepentingan sesaat. Lebih-lebih kalau alasannya hanya sekadar untuk dapat naik pangkat dan hidup berlimpah harta.

Konsep pertanian terpadu juga sering disebut sebagai konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Konsep ini diharapkan menjadi arah baru bagi pertanian masa depan, di mana unsur atau komponen yang terlibat dapat menikmati hasil yang sepadan dan berkelanjutan. Sebab konsep LEISA pada dasarnya merangkum tindakan-tindakan :

  • Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal
  • Maksimalisasi daur ulang (zero waste)
  • Minimalisasi kerusakan lingkungan (ramah lingkungan)
  • Diversifikasi usaha
  • Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang
  • Menciptakan kemandirian

Untuk mendukung keberhasilan dalam penerapan konsep LEISA, diperlukan teknologi tepat guna yang dapat mengubah limbah pertanian menjadi sumberdaya (feed) dan pemanfaatannya, serta mengubah limbah peternakan menjadi sumberdaya (compost) dan pemanfaatannya baik untuk sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun untuk budidaya perikanan.

MEMADUKAN TERNAK PADA USAHA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Sub sektor peternakan sebagai bagian sektor pertanian dapat melakukan integrasi dengan sub sektor lain untuk meningkatkan produktivitas masing-masing sub sektor. Artinya, tiap-tiap komponen dapat saling menopang untuk saling mengisi dalam peningkatan produktivitas dengan memanfaatkan produk-produk sampingan usaha. Ternak yang diusahakan dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian tanaman pangan maupun hortikultura dan perkebunan, untuk saling mengisi sehingga masing-masing usaha dapat memberi hasil optimal.

Usaha ternak memiliki kendala berupa ketergantungan pada penyediaan sumber pakan ternak secara kontinyu (baik hijauan maupun konsentrat), terbatasnya lahan untuk pengembangan usaha, kesulitan pembuangan hasil samping usaha (limbah) berupa kotoran (feses dan urine), dan permasalahan sekitar usaha. Sedangkan usaha pertanian dan perkebunan menghadapi kendala berupa penyediaan sumber unsur hara untuk lahan (tanah yang tidak fertil), pertumbuhan tanaman yang kurang sehat akibat unsur hara yang berkurang, perawatan (maintenance) untuk pertumbuhan tanaman memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan permasalahan limbah yang semakin lama semakin menumpuk sehingga menjadi sarang hama dan penyakit. Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan melakukan integrasi antar sub sektor secara terpadu.

Kalau mengacu pada konsep LEISA, maka usaha ternak dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian dan perkebunan dengan cara :

  • Hasil samping atau limbah pertanian dan perkebunan (jerami padi, kacang tanah, kedelai, pucuk tebu, terbon jagung, kulit buah kakao, dan lain-lain) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
  • Kotoran ternak, sisa pakan dan hasil panen yang bukan pangan maupun pakan dapat didekomposisi menjadi kompos untuk penyediaan unsur hara lahan.
  • Ternak (terutama ruminansia) dapat dilepas di perkebunan untuk memanfaatkan tanaman liar/gulma sebagai pakan dan sekaligus menghemat biaya penyiangan.

Upaya memadukan ternak dengan usaha pertanian dan perkebunan akan membawa dampak positif terhadap aspek budidaya, sosial dan ekonomi. Budidaya ternak akan semakin efisien karena ketersediaan pakan dapat dilakukan secara kontinyu. Problem sosial yang seringkali terjadi akibat limbah yang menimbulkan polusi (kotoran ternak, sisa panen, limbah perkebunan/pertanian) dapat diatasi dan membawa pengaruh yang baik. Secara ekonomi, petani/peternak dapat melakukan efisiensi usaha (tingkat pendapatan semakin meningkat). Akhirnya, kemandirian petani/peternak dalam berusaha dapat diwujudkan dan ketergantungan sarana produksi dari luar dapat ditekan atau dikurangi sebanyak mungkin.

Sementara meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu dan keamanan hasil pertanian serta tuntutan akan sistem jaminan mutu dari pasar hasil pertanian, yang didukung dan dijadwalkan oleh WTO dan organisasi-organisasi reference-nya, telah membawa dampak perubahan besar di dalam pola dan sistem pembinaan mutu hasil pertanian. Pola dan sistem yang berkembang dan mulai menjadi tuntutan dalam perdagangan hasil pertanian di antaranya adalah HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dan lain-lain.

Dengan berkurangnya tarif eskalasi di beberapa negara, seharusnya akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha pertanian yang mandiri di Indonesia, meski tidak dapat dipungkiri kalau untuk produk-produk tanaman pangan yang bisa dibudidayakan di wilayah subtropis yang lebih memiliki keunggulan komparatif (seperti kedelai) nampaknya Indonesia sulit untuk dapat bersaing di pasar ekspor sehingga pengembangannya lebih kepada memanfaatkan peluang diversifikasi di basis ekonomi sawah.

Namun untuk beberapa komoditas hortikultura, perikanan dan peternakan yang lebih memiliki sifat market driven, diharapkan mampu menjadi sumber pertumbuhan baru di sektor pertanian. Produk hortikultura yang memiliki keunggulan komparatif adalah produk-produk tropis yang memang berpotensi untuk dikembangkan. Sedangkan produk-produk subtropis, khususnya temperate plants, akan sulit bersaing di pasaran domestik maupun luar negeri.

Di samping peluang yang ditimbulkan oleh perdagangan bebas, Indonesia juga dihadapkan kepada berbagai tantangan dan hambatan yang harus diatasi. Tantangan utama dalam menghadapi persaingan dengan negara lain adalah daya saing yang tinggi. Sejauh ini, keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki Indonesia lebih banyak pada kegiatan produksi yang bersifat resource base daripada kegiatan produksi yang bersifat technological base atau capital base.

Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa dan pendapatan perkapita US $ 1.500, Indonesia jelas merupakan pasar yang cukup besar. Peningkatan pendapatan yang diperkirakan akan terus terjadi, menunjukkan bahwa pasar dalam negeri tidak saja mencerminkan suatu permintaan yang potensial (potential demand), tetapi juga merupakan suatu permintaan efektif (efectif demand). Oleh karena itu potensi besar yang terkandung dari perdagangan dan pasar dalam negeri tidak boleh diabaikan.

Secara umum beberapa hal yang harus diperhatikan dan merupakan tantangan dalam rangka meningkatkan daya saing pertanian adalah :

  1. Kualitas Produk. Upaya untuk mengembangkan standard mutu hasil-hasil pertanian, baik yang menyangkut bahan mentah maupun hasil olahannya, masih sangat kurang. Meskipun tingkat proteksi dalam bentuk non tarif – terutama yang berbentuk quantitave restriction measure – akan berkurang, tetapi proteksi dalam bentuk persyaratan teknis tampaknya masih akan mewarnai perdagangan hasil pertanian masa datang. Keadaan ini terbentuk dengan adanya tuntutan konsumen akan mutu semakin meningkat sesuai dengan semakin meningkatnya taraf hidup penduduk dunia. Bahkan di negara-negara maju masyarakat menuntut adanya jaminan mutu sejak awal proses produksi hingga ke tangan konsumen.
  2. Kontinuitas Suplai. Jaminan kontinuitas suplai merupakan salah satu persyaratan mutlak bagi keberlangsungan perdagangan. Keberlangsungan suplai ini akan sangat mempengaruhi pemeliharaan pangsa pasar yang ada, yang tidak jarang lebih sulit dari penetrasi pasar.
  3. Waktu Pengiriman. Ketepatan waktu pengiriman (on time delivery) juga merupakan tantangan. Masalah ketepatan waktu ini lebih penting lagi bagi produk-produk dalam bentuk sayuran, buah-buahan dan hasil perikanan (yang nilainya lebih tinggi apabila dalam bentuk segar) yang merupakan produk-produk mudah rusak, bulky dan sangat tergantung pada iklim serta musim.
  4. Teknologi. Dalam sistem pertanian modern, peran teknologi hampir dibutuhkan dalam setiap subsistemnya. Mulai dari pengadaan sarana produksi, proses usahatani, maupun dalam pemasaran hasil. Penyediaan informasi berbagai alternatif teknologi baru yang kompatible merupakan kebutuhan dalam pengembangan pertanian secara menyeluruh.
  5. Sumberdaya Manusia. Pada sektor pertanian secara keseluruhan dilakukan oleh petani sebagai pelaku utama yang mencakup seluruh kegiatan sub sektor pada sektor pertanian. Kualitas sumberdaya manusia pertanian, baik di tingkat petani maupun pada tingkat manajer, yang belum mencapai standar yang diinginkan, menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas di sektor pertanian.
  6. Negara Pesaing. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki banyak pesaing yang secara tradisional menghasilkan produk yang sama dengan produk Indonesia yang pada umumnya berupa produk pertanian tropis. Negara-negara ASEAN, Amerika Latin dan beberapa negara Afrika pada umumnya merupakan pesaing Indonesia.
  7. Insentif Investasi. Mengingat usaha di bidang pertanian memiliki karakteristik berbeda dengan industri pada umumnya, oleh karenanya diperlukan insentif investasi yang dapat merangsang swasta menanamkan modalnya di bidang ini.

BENTUK USAHA

Salah satu bentuk usaha atau kegiatan yang kami tawarkan adalah Budidaya Ternak Sapi Potong dan Perah Tanpa Rumput, dengan pendekatan zero waste dan zero cost.

Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peradaban saat ini, membuat semakin berkembangnya pola kehidupan manusia. Manusia semakin sadar akan pentingnya nutrisi untuk kehidupan yang lebih baik. Nutrisi tersebut salah satunya adalah ’’Protein Hewani’’.

Protein berperan bagi terbentuknya jaringan-jaringan tubuh baru untuk mengganti jaringan-jaringan yang rusak/usang, perkembangan daya pikir dan pembentukan formasi tubuh yang semakin baik. Salah satu sumber protein hewani adalah daging dan susu.

Masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa tentunya semakin banyak membutuhkan protein hewani. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya lonjakan permintaan yang cukup signifikan akan daging dan susu. Ternak sapi merupakan penyedia protein hewani berupa daging dan susu yang cukup potensial.

Maka sangat ironis ketika Indonesia harus mengalami kelangkaan daging dan susu seperti saat ini, hanya dengan satu alasan yang sangat tidak rasional : harga sapi Australia semakin mahal harganya. Lagi-lagi kita dijebak untuk bergantung pada bangsa lain hanya untuk mencukupi kebutuhan akan gizi kita

Padahal Indonesia yang kaya raya ini menyediakan sarana produksi yang cukup berlimpah untuk usaha pengembangan ternak sapi, baik sapi perah maupun sapi potong. Sayangnya, sumber sapi yang dimiliki Indonesia sebagai plasma nutfah asli sangatlah sedikit. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan dagang dengan negara lain untuk menyediakan bakalan sapi untuk dibudidayakan di Indonesia demi penyediaan kebutuhan protein hewani.

Kekuatan perekonomian masa sekarang maupun masa mendatang akan bertumpu pada ekonomi kerakyatan, yaitu kegiatan perekonomian yang didominasi institusi bisnis yang kecil dan ramping (skala usaha kecil sampai menengah).

Di antara kegiatan perekonomian, usaha yang bergerak pada sektor agribisnis merupakan usaha yang dapat menjadi salah satu pilar perekonomian rakyat termasuk di dalamnya sub sektor peternakan.

Usaha peternakan yang terintegrasi, yang terpadu dengan sub sektor yang lain, diharapkan dapat meningkatkan nilai efisiensi usaha dengan pemanfaatan by product yang diharapkan dapat menurunkan cost of production dan sekaligus meningkatkan pay of income.

Sapi merupakan salah satu jenis ternak yang berperan dalam melakukan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Pengelolaan yang baik dengan pola manajerial yang sempurna akan menghasilkan kinerja ternak yang ideal sehingga diperoleh hasil baik. Hasil yang baik akan memberi banyak keuntungan. Pertama : pemenuhan supply protein hewani. Kedua : pembukaan lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Ketiga : peningkatan nilai penggunaan lahan-lahan pertanian marginal sehingga memberi nilai guna pada lahan secara positif. Keempat : peningkatan kualitas lahan seiring dengan introdusir penggunaan kompos (by product usaha peternakan). Kelima : peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang mengikuti peningkatan income petani peternak atas peternakan yang diusahakannya.

KONSEP LEISA

Semua jenis usaha akan menghasilkan limbah, organik maupun an organik.  Pengelolaan limbah yang benar sesuai dengan kaidah penanganan lingkungan akan menjamin kelestarian alam sehingga daya dukung lahan akan tetap terjaga.

Usaha agribisnis termasuk usaha yang akan menghasilkan limbah organik.  Limbah organik yang dihasilkan bila dikelola dengan benar akan menghasilkan keluaran untuk menjaga daya dukung lahan dan mampu memberi nilai ekonomis bagi usaha agribisnis tersebut.

Dalam sistem pertanian terpadu atau an Integrated Farming System, aplikasi atau penerapannya mengadopsi Konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture), yaitu kegiatan agribisnis dengan pola masukan dari luar usaha tani serendah mungkin.

Dengan LEISA, bukan saja akan terbentuk konservasi sumber daya sebagai komponen pokok sistem pengelolaan agribisnis yang dilakukan, tetapi juga akan menciptakan keberlanjutan dan kemandirian. Sebab konsep LEISA memiliki sejumlah kelebihan, di antaranya :

  1. Memacu kemampuan alamiah tanah, tanaman, dan atmosfer dalam mengkonversikan unsur-unsur lingkungan menjadi produk yang berguna bagi manusia.
  2. Terjadi adaptasi tanaman, ikan dan hewan ternak pada lingkungan hidup setempat melalui seleksi, pemuliaan konvensional, maupun rekayasa genetika.
  3. Terbangun kelembagaan yang mendukung rasionalisasi usaha tani, pemberian nilai tambah pada hasil, dan kelancaran pemasaran hasil.
  4. Terjadi keseimbangan antara komersialisasi dan kesejahteraan sosial bagi pelaku atau petani beserta keluarganya.
  5. Dapat mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaan input produksi sehingga diperoleh hasil yang memadai dan secara ekonomi menguntungkan.
  6. Terjadi pembatasan ketergantungan pada masukan yang terlalu boros, misalnya pupuk kimia dan pestisida sintetis.
  7. Menghindarkan terjadinya polusi terhadap air permukaan maupun air tanah.
  8. Membatasi terjadinya kehilangan hasil panen akibat hama dan penyakit tanaman dengan cara melaksanakan usaha preventif melalui perlakuan yang aman.
  9. Pemanfaatan sumber energi bersifat sinergis.

Adapun prinsip-prinsip ekologis dalam konsep LEISA antara lain :

  1. Memperbaiki kondisi tanah sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, terutama mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan di dalam tanah.
  2. Mengoptimalkan ketersediaan dan keseimbangan daur hara, terutama melalui fiksasi nitrogen, penyerapan hara, serta penambahan dan daur pupuk kimia.
  3. Membatasi kehilangan hasil panen akibat aliran panas matahari, udara, dan air, dengan cara mengelola iklim mikro, mengelola air, dan mencegah erosi.
  4. Memanfaatkan sumber genetika (plasma nutfah) yang saling mendukung dan bersifat sinergis, dengan cara mengombinasikan fungsi keanekaragaman sistem pertanaman perdu.

Kondisi yang paling penting bagi kegiatan usaha agribisnis terpadu adalah tercukupinya dan seimbangnya jumlah nutrisi yang diterima oleh tanaman, ikan, dan hewan ternak. Kekahatan dan ketidakseimbangan merupakan kendala utama bagi produksi agribisnis.

Perpaduan atau keterpaduan antara tanaman, ikan, dan hewan ternak, dengan sistem konservasi tanah, air, dan atmosfer menimbulkan mata rantai daur ulang berbagai komponen limbah secara berkesinambungan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan : The Law of Return.

Dengan demikian, kualitas sumber daya alam dan vitalitas keseluruhan agroekosistem dapat dipertahankan. Sementara, kehidupan manusia, tanaman, hewan, ikan, dan organisme tanah dapat ditingkatkan. Hal ini dikarenakan seluruh komponen terkait terkelola dengan baik, sehingga menekan kemungkinan terjadinya kehilangan hara, biomassa, dan energi, serta menghindarkan terjadinya polusi.

THE LAW OF RETURN

The Law of Return mengambarkan tentang saling keterkaitan antar komponen dalam suatu usaha agribisnis. Tanaman dan ternak akan menghasilkan bahan pangan (food) bagi manusia. Limbah sisa panen tanaman dapat digunakan sebagai pakan (feed) bagi ternak. Komponen-komponen di atas (manusia – ternak – tanaman) akan menghasilkan limbah organik yang ditumpuk untuk kemudian diproses melalui proses composting (dekomposisi) sehingga menghasilkan kompos sebagai sumber unsur hara bagi tanaman.  Tanaman yang tumbuh subur akibat tersedianya supply unsur hara akan menghasilkan bahan pangan dan pakan berlimpah dan berkualitas bagi kehidupan manusia.

Keluaran yang diharapkan dari sistem LEISA adalah :

  • Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal
  • Maksimalisasi Daur Ulang (Zero Waste)
  • Minimalisasi Kerusakan Lingkungan (Ramah Lingkungan)
  • Diversifikasi Usaha
  • Pencapaian Tingkat Produksi Yang Stabil Dan Memadai Dalam Jangka Panjang
  • Menciptakan Kemandirian

MENGAPA SAPI, TANAMAN PANGAN DAN IKAN?

Untuk hidup sehat, manusia membutuhkan protein, baik protein nabati maupun protein hewani.

Protein nabati terbanyak dihasilkan dari sub sektor tanaman pangan. Sementara protein hewani bisa didapat dari ikan maupun hewan ternak. Para ahli telah membuktikan, protein hewan terbaik adalah yang berasal dari ikan dan daging maupun susu. Penghasil daging dan susu terbaik adalah sapi. Sapi potong untuk penghasil daging, sapi perah untuk penghasil susu.

Dengan demikian, memelihara sapi = kesejahteraan. Sejahtera = Sehat, Cerdas dan Unggul.

Selain itu, permintaan daging dan susu meningkat seirama dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, tingkat pendidikan, perubahan gaya hidup dan arus globalisasi.

Di samping itu, pemerintah menetapkan tahun 2010 Indonesia harus mulai memasuki era kecukupan daging dan susu.

Saat ini, Revolusi Peternakan sedang berlangsung. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk menumbuhkembangkan usaha peternakan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat.

Untuk memenuhi kecukupan daging dan susu, usaha budidaya ternak sapi, baik potong maupun perah, harus terus ditingkatkan. Agar usaha budidaya ternak sapi bisa berhasil dengan baik, diperlukan kreatifitas dan kearifan dalam mengaplikasikan ilmu dan teknologi. Peningkatan usaha budidaya ternak sapi tidak boleh mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Pola integrasi yang inovatif perlu diterapkan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada.

Selain itu, Sapi Memiliki Peran dan Fungsi untuk :

  • Mewujudkan ketahanan pangan hewani yang aman dan lestari.
  • Mengembangkan agribisnis untuk mengurangi impor dan merebut peluang ekspor.
  • Mewujudkan usahatani yang tangguh bagi kesejahteraan petani/peternak.
  • Menyediakan ternak untuk keperluan sosial budaya (sebagai tabungan emergensi).
  • Pengembangan agrowisata, hobby dan produk diversifikasi lainnya.

Keistimewaan Sistem Pencernaan Sapi

  • Ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) mempunyai 4 lambung atau perut dalam sistem pencernaannya, yaitu rumen, reticulum, omasum dan abomasum.
  • Dalam rumen ada mikrobia yang penting dalam proses pencernaan karena mampu mengubah bahan pakan berkualitas rendah menjadi pakan berkualitas tinggi. Contoh : Urea mempunyai Nitrogen +/- 46%, tetapi bukan nitrogen pakan. Berkat mikrobia rumen mampu diubah menjadi nitrogen pakan.
  • Prinsip pemeliharaan ternak ruminansia : bagaimana bahan pakan bisa lebih lama dalam perut rumen agar bisa dikunyah berkali-kali dan dicerna secara enzimatis dan mekanis.

Sistem Pencernaan Ternak Monogastrik

  • Ternak monogastrik (ayam, bebek, babi dan kuda) mempunyai saluran pencernaan atau lambung tunggal seperti halnya manusia.
  • Proses pencernaan secara enzimatis mikrobia berlangsung singkat, tidak terjadi proses nggayemi, sehingga nutrisi yang tersedia tidak bisa berlangsung lama. Padahal tidak semua nutrisi bahan pakan bisa terserap dengan sempurna.
  • Bahan pakan ternak monogastrik harus benar-benar yang berkualitas baik.

Standar Gizi Nasional

Kebutuhan protein hewani bagi penduduk Indonesia adalah 6,00 gram/orang/hari atau setara dengan 8,60 kg daging/orang/tahun, 2,80 kg susu/orang/tahun, dan 2,85 kg telur/orang/tahun. Tapi realisasinya sampai saat ini baru mencapai 4,30 kg daging/orang/tahun, 2,40 kg susu/orang/tahun, dan 2,70 kg telur/orang/tahun

Peran Sektor Pertanian/Peternakan dalam Membangun Manusia Indonesia yang Sehat, Unggul dan Utuh

Pangan meliputi : Kerbohidrat, Mineral, vitamin dan Protein Nabati. Untuk melengkapi agar menjadi empat sehat lima sempurna, maka dibutuhkan Protein Hewani.

Susunan konsumsi seperti itu akan menghasilkan manusia bergizi, sehat, cerdas, utuh dan unggul.

Permasalahan

  • Indonesia tidak punya cukup ’’grain’’, dan tidak tersedia ’’pasture’’ yang memadai.
  • Yang dimiliki Indonesia adalah :
  1. Lahan persawahan dan tegalan.
  2. Perkebunan dan hutan rakyat yang tersebar di hampir semua wilayah.
  3. Aneka industri makanan dan agroindustri yang kian berkembang pesat akhir-akhir ini.
  4. Kekayaan biota liar yang belum terkelola.

Padahal Biaya dalam Industri Peternakan

  • Pakan                        (60–70 %) *
  • Bibit                           (25    %)
  • Obat/Vaksin           (  2,5 %)
  • Sarana                       (  2    %)
  • dll                               (  0,5 %)

(Catatan : kecuali industri penggemukan, bibit > 80 %)

*) Sebagian besar berupa rumput (hijauan pakan ternak) dan konsentrat impor

Pakan yang merupakan komponen terbesar (70%) dari total biaya produksi yang harus dikeluarkan peternak, kebanyakan hanya habis untuk membeli satu jenis pakan dalam satu siklus produksi, sehingga kandungan nutrient pada pakan yang diberikan tidak selalu sesuai dengan fase pertumbuhan. Hal ini menyebabkan keadaan under feeding untuk beberapa nutrient tertentu, yang pada akhirnya menyebabkan turunnya efisiensi produksi terutama pada Feed Convertion Ratio (FCR) maupun feed cost per kg-nya.

Akibatnya

  • Biaya pakan induk > Rp. 4.000/hari
  • Jarak beranak > 600 hari (20 bulan lebih)
  • Biaya pakan (70%) untuk menghasilkan pedet > 600 X Rp. 4.000 = Rp. 2,4 juta
  • Harga jual pedet < Rp. 2,0 juta
  • Modal berupa fresh money sulit
  • Lahan terbatas
  • Sangat sedikit investor yang tertarik

Permasalahan Nutrisi dan Pemenuhan Kebutuhan Pakan Ternak Ruminansia

  • Ketidakseimbangan nutrisi menyebabkan pertumbuhan terganggu, produksi daging dan susu rendah, gangguan status reproduksi (calving interval lama, lambat dewasa kelamin, tingkat pedet mati masih cukup tinggi).
  • Pemiskinan unsur hara tanah akibat banjir karena konversi lahan hutan yang tidak terarah.
  • Ketersediaan hijauan pakan fluktuatif : akibat  musim.
  • Areal penanaman hijauan pakan semakin menyempit.
  • Inovasi bahan pakan lokal belum banyak digali.

Jalan Keluar

  • Mencari keunggulan komparatif dan kompetitif, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan pakan bagi ternak, dalam bentuk integrated farming system.
  • Salah satu peluang yang tersedia adalah pemanfaatan ’’limbah’’ kegiatan pertanaman dan memanfaatkan biota liar yang belum terkelola dengan baik.
  • Memanfaatkan ’’limbah’’ untuk peternakan berarti harus terjadi integrasi atau keterpaduan.
  • Prinsip yang melandasi : daur ulang yang sempurna atau The Law of Return.

MANAJEMEN BUDIDAYA

Usaha budidaya ternak sapi sebenarnya bukan merupakan usaha yang sulit. Kunci keberhasilan adalah keseriusan, keinginan untuk maju, kegigihan dan faktor-faktor penunjang lain serta kedisiplinan tenaga kerja.

Dalam hal budidaya ternak sapi, hal-hal yang harus diingat adalah proses usaha harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan ternak akan produktifitas yang baik. Sebagai ilustrasi, ternak yang baru saja masuk kandang harus segera diberikan obat cacing, vitamin A dan B kompleks serta minum. Setelah itu dibiasakan dengan pakan berserat dan penguat. Pemberian pakan selanjutnya dilakukan secara rutin pagi – sore – malam (bila perlu).

Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah rasa ’sayang’ terhadap ternak yang diwujudkan dalam hal memperhatikan tingkah laku ternak, kondisi kesehatan, mencukupi kebutuhan akan pakan dan minum dan hal-hal lain yang membuat ternak semakin nyaman.

Dengan rasio 1 : 6, artinya satu orang pekerja mengurusi enam ekor ternak, dengan catatan tenaga kerja tersebut dilibatkan dalam prosesing pengadaan dan atau pengolahan pakan berserat. Sedangkan rasio 1 :  8 – 10, artinya satu orang pekerja mampu mengurusi 8 – 10 ekor ternak tanpa harus mengadakan dan atau ikut mengolah pakan

Pengelolaan budidaya sapi harus berdasarkan pada filosofi “Total One Day Care”, yaitu usaha yang berkaitan dengan makhluk hidup dan keharusan untuk melakukan perawatan dan pengawasan selama 24 jam dalam satu hari.

Staff dan Karyawan yang cakap dan memiliki rasa memiliki mendalam, di samping kemampuan teknis dalam pengelolaan usaha, mutlak diperlukan. Pelatihan dan pengembangan kemampuan untuk Staff dan Karyawan harus dilakukan pada masa-masa rekruitment demi terciptanya sumberdaya manusia yang mumpuni.

MENGAPA HARUS TERINTEGRASI?

Usaha produksi pangan, termasuk peternakan, tidak boleh mendera dan merusak lingkungan. Tetapi kita jangan sampai melupakan kepapaan dan kelaparan yang diderita oleh banyak penduduk. Lingkungan justru tidak akan dapat diperbaiki dan dilestarikan dalam kondisi masyarakat lapar. Untuk memerangi kelaparan tersebut diperlukan aplikasi ilmu dan teknologi.

Selain itu :

(1)   diversifikasi penggunaan sumberdaya optimal.

(2)  mengurangi terjadinya resiko usaha.

(3)  efisiensi penggunaan tenaga kerja.

(4)  efisiensi penggunaan input produksi.

(5)  mengurangi ketergantungan energi kimia.

(6)  ramah lingkungan.

(7)  meningkatkan output, dan

(8) rumahtangga petani yang berkelanjutan.

Belum lagi kalau memperhatikan tuntutan masyarakat di masa datang yang menginginkan BACK TO NATURE dalam segala hal dengan persyaratan utama :

  • Food Safety Attributes
  • Nutritional Attributes
  • Eco-labelling Attributes

Artinya :

  • Bahan Pangan yang dihasilkan petani harus aman dikonsumsi.
  • Bahan Pangan yang dihasilkan petani harus memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.
  • Bahan Pangan yang dihasilkan petani harus diusahakan secara ramah lingkungan.

Sistem Pertanian Terpadu atau Sistem Pertanian Tanpa Limbah

  • Mengintegrasikan atau menggabungkan beberapa unit usaha di bidang pertanian yang dikelola :
  1. secara terpadu
  2. berorientasi ekologis
  3. sehingga diperoleh peningkatan nilai ekonomi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi.

Azas Integrated Farming System

  • Keterpaduan (pembangunan menyeluruh, lintas sektor dan lintas daerah).
  • Kegotongroyongan (menumbuhkan rasa kebersamaan).
  • Keswadayaan (usaha kemandirian).
  • Partisipatif (mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan hasilnya).
  • Terdesentralisasi (terdelegasikan pada semua komponen yang terlibat).

Prinsip Integrated Farming System

  1. Biomasa yang tersedia dapat dijadikan bahan pakan.
  2. Spesies atau jenis ternak yang sesuai dengan kondisi agroekologi dan sosial budaya masyarakat.
  3. Manajemen pemeliharaan harus seimbang antara sistem perkandangan, aspek veteriner, pengolahan dan pemanfaatan kompos, maupun diversifikasi usaha yang kemungkinan timbul.
  4. Dukungan inovasi teknologi lain dan kelembagaan yang tepat.

Integrated Farming System  Berbasis Tanaman Pangan Dan Perkebunan

Keunggulan Sistem Pertanian Tanpa Limbah Atau Sistem Pertanian Terpadu

  • Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal.
  • Memaksimalkan daur ulang hingga mencapai zero waste (tanpa limbah).
  • Meminimalkan kerusakan lingkungan atau ramah lingkungan.
  • Keanekaragaman atau diversifikasi usaha.
  • Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang.
  • Menciptakan kemandirian atau zero cost.

Mengapa Harus ’’Limbah’’?

  • Terbuang, bahkan menjadi ‘masalah’ dan ‘kendala’ dalam usaha tani atau agribisnis.
  • Pada saat ‘paceklik’ tidak tersedia pakan, tapi pada saat panen ‘terbuang’.
  • Kualitas ‘rendah’, harus ‘diperkaya’ secara fisik, dan/atau biologis (probiotik).
  • Tersedia dalam jumlah yang memadai.

Potensi Limbah Tanaman Pangan dan Perkebunan di Indonesia :

NO.

JENIS LIMBAH

LUAS AREA *

PRODUKSI LIMBAH **

A. Limbah Pertanian
1. Jerami Padi 8.470.900 21.177.250
2. Terbon Jagung 2.499.900 14.999.400
3. Pucuk Tebu 1.085.000 4.430.000
4. Daun Ubi Kayu 838.700 838.800
5. Jerami Ubi Jalar 141.400 212.100
6. Jerami Kacang Tanah 479.500 1.198.750
7. Jerami Kacang Kedelai 942.500 2.356.000
Jumlah 14.457.900

45.022.300

B. Limbah Agroindustri
1. Nanas 1.085.000 107.707
2. Ampas Tebu 838.700 9.420.800
3. Ampas Singkong/Onggok 336.500 5.619.618
4. Kakao/Coklat *** 1.055.700 484.193
5. Limbah Kopi 379.900 232.392
Jumlah 3.695.800 15.864.710

*  Statistik Indonesia – 1991,

**  Reksohadiprodjo – 1984,

*** Direktorat Jenderal Peternakan – 1992

Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pakan Ruminansia

  • Strategi pemberdayaan dan pengusahaan pakan lokal melalui Integrated Farming System dan kesesuaian pola usahatani.
  • Strategi implementasi pengadaan suplementasi secara terpadu.
  • Strategi penyediaan dan pengembangan usaha pakan secara berkesinambungan.

By Product Agroindustri Sebagai Pakan Ruminansia Dalam Sistem Integrasi

  • Sumber serat : pucuk tebu, bagas, sabut sawit, jerami padi, tongkol jagung, kulit kakao, kulit kopi, kulit singkong, enceng gondok, rendeng.
  • Sumber protein : ampas tahu, bungkil sawit, bungkil kelapa, bulu ayam, lumpur sawit, susu bubuk afkir.
  • Sumber energi : tetes, minyak ikan, onggok, blondo dan roti afkir.

Sistem Pertanian Tanpa Limbah (Zero Waste)

  • MANTAP SECARA EKOLOGIS

Penggunaan sumberdaya yang dapat diperbarui

  • BERKELANJUTAN SECARA EKONOMIS

Pemenuhan kebutuhan secara ekonomis, tetapi meminimalkan risiko

dan melestarikan sumberdaya

  • ADIL SECARA GEOGRAFIS

Sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sehingga kebutuhan dasar

masyarakat terpenuhi, dan hak-hak masyarakat dalam penggunaan

lahan, modal, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin

  • MANUSIAWI SECARA IDEOLOGIS

Semua bentuk kehidupan (manusia, tanaman, hewan) dihargai

  • LUWES SECARA SOSIOLOGIS

Atas perubahan (inovasi, teknologi, sosial, budaya) masyarakat

mampu Menyesuaikan

PENANGANAN LIMBAH PERTANIAN

Peningkatan produksi ternak sapi memerlukan penyediaan pakan dalam jumlah besar, terutama pakan berserat kasar (roughage) yang murah. Perluasan areal untuk penanaman pakan ternak akan semakin terbatas, terutama pada daerah padat penduduk. Di samping itu penanaman pakan ternak menghadapi beberapa kendala yaitu :

  • Memerlukan investasi lahan yang mahal
  • Pemeliharaan tanaman yang tidak murah
  • Pengangkutan hijauan dari lokasi ke Farm yang kontinyu (tiap hari)
  • Hasil panen yang fluktuatif (tergantung musim)
  • Penyimpanan yang juga mahal (dalam bentuk silase)

Hasil intensifikasi tanaman pangan di samping menghasilkan bahan pangan, juga menghasilkan limbah berserat yang  melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan yang murah.

Limbah yang berasal dari usaha pertanian dapat dimanfaatkan menjadi Pakan Ternak dan Kompos.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas limbah pertanian, baik dengan cara fisik, kimia maupun biologis. Tetapi cara-cara tersebut biasanya mahal dan hasilnya kurang memuaskan. Dengan cara fisik misalnya, memerlukan investasi yang mahal. Secara kimiawi meninggalkan residu yang mempunyai efek buruk. Cara biologis memerlukan peralatan yang mahal (harus anaerob) dan hasilnya kurang disukai ternak (bau amoniak yang menyengat).

Cara baru yang relatif murah, praktis dan hasilnya sangat disukai ternak adalah fermentasi dengan menggunakan mikroba fermentor.

1.      Limbah Pertanian sebagai Pakan Ternak

Limbah pertanian yang akan dijadikan sebagai pakan ternak, harus mencukupi standar kualitas yang sesuai dengan kebutuhan ternak dengan memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut :

  1. Mudah, bahan pakan tersebut tersedia di sekitar lokasi usaha agribisnis.
  2. Murah, baik dari sisi harga dasar bahan baku dan biaya transportasi dari lokasi sumber bahan pakan tersebut.
  3. Kontinuitas terjamin, sehingga perubahan komposisi bahan pakan tidak dilakukan secara berulang untuk menjaga tingkat stress ternak.
  4. Kandungan nutrisi, harus mampu mencukupi kebutuhan dasar ternak untuk berproduksi dan bereproduksi.

Beberapa limbah pertanian yang telah banyak digunakan sebagai bahan pakan ternak di antaranya adalah :

Limbah Pertanian

Asal

Bekatul, Menir Tanaman Padi
Wheat dan Brand Pollard Tanaman Gandum
Ampas Kecap Industri Kecap Kedelai
Bungkil Kedelai Industri Minyak Kedelai
Bungkil Kelapa Industri Minyak Kelapa
Ampas Beer Industri Minuman
Ampas Tahu Industri Pengolahan Kedelai
Ampas Tempe Industri Pengolahan Kedelai
Lumpur Sawit Industri Pengolahan Minyak Sawit
Ampas Sagu Tanaman Sagu
Pecahan/kulit Kedelai Tanaman Kedelai
Jerami Kacang Tanah (rendeng) Tanaman Kacang Tanah
Tebon, Tongkol, Klobot Jagung Tanaman Jagung
Onggok Tanaman Singkong
Bungkil Kacang Tanah Tanaman Kacang Tanah
Tetes Tanaman Tebu
Cane Top (pucuk tebu) Tanaman Tebu

Pemberian limbah pertanian sebagai pakan ternak harus diatur komposisinya agar tidak terjadi dismetabolisme dalam alat cerna ternak.

2.     Jerami Fermentasi

Salah satu limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak adalah jerami padi yang telah difermentasi. Fermentasi dilakukan untuk dapat mengurai atau melonggarkan ikatan struktur serat sehingga nutrisi dapat tersedia bagi ternak.

Fermentasi Jerami padi merupakan salah satu cara pemanfaatan limbah pertanian dan peningkatan kualitas yang cukup praktis dalam proses dan pemberiannya, relatif mudah menyediakan bahan baku, proses fermentasi berlangsung aerob, dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama.

Hasil analisa laboratorium jerami fermentasi :

KANDUNGAN

JERAMI SEGAR

JERAMI FERMENTASI

Air

59,16

10,17

Abu

24,50

19,80

Protein Kasar

4,30

9,03

Lemak

2,50

1,52

Serat Kasar

33,8

31,80

3.     Limbah Pertanian sebagai Bahan Baku Kompos

Limbah pertanian dapat digunakan sebagai bahan baku kompos dengan cara mencampurkannya dengan kotoran ternak maksimal 25% dari berat total bahan baku kompos. Komposisi limbah pertanian sebagai bahan baku kompos, setelah terdekomposi-si akan memberi sumbangan kandungan humus bagi kompos matang.

4.     Penataan Lokasi Usaha berwawasan Lingkungan

Lingkungan usaha Agribisnis akan semakin baik manakala kita tidak hanya berkon-sentrasi pada sisi bisnis utama semata, tetapi kita juga dapat melakukan penataan estetika lingkungan usaha. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengusahakan kegiatan yang saling mendukung, seperti :

  • Pertanian Organik

Beberapa lahan kosong yang tersedia di sekitar kandang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian organik, selain dapat memberi income tambahan dan nilai estesika.

  • Tanaman Keras dan Buah-buahan

Tanaman buah-buahan bernilai ekonomis tinggi akan memberi tambahan penda-patan dan variasi suasana. Juga dengan ditanamnya tanaman keras lain (seperti : jati, sengon) yang dapat menopang biaya penyusutan sarana bila saat rehabilitasi atau renovasi tiba.

PENANGANAN LIMBAH PETERNAKAN

Limbah yang dihasilkan dari usaha peternakan terutama adalah feses (kotoran dan urine) selain sisa pakan dan lingkungan peternakan itu sendiri. Limbah yang paling banyak mendominansi usaha peternakan adalah limbah organik. Limbah organik sendiri merupakan kumpulan struktur yang saling mengikat sehingga menjadi ikatan kompleks yang secara visual terkesan sulit untuk diurai.

Usaha Ternak Sapi Perah dan Sapi Potong akan menghasilkan keluaran berupa air susu dan daging yang diupayakan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan protein asal hewan. Demikian pula dengan usaha pertanian disekitar lokasi peternakan yang akan menghasilkan bahan pangan (food) bagi manusia.

Baik usaha peternakan maupun usaha pertanian juga komunitas manusia yang bergelut dalam sistem usaha agribisnis itu akan menghasilkan limbah organik berupa feses (kotoran dan urine) dan sisa panen. Sisa panen tanaman pertanian, dengan pengelolaan yang baik akan mampu menjadi pakan (feed) untuk ternak.

Limbah organik dari usaha agribisnis itu dapat diolah menjadi kompos (pupuk organik) yang memiliki nilai unsur hara tinggi untuk menunjang kesuburan tanah yang nantinya berperan besar bagi kehidupan tanaman selanjutnya.

Kotoran ternak sapi yang merupakan hasil metabolisme dapat diolah menjadi pupuk organik yang mampu meningkatkan produktifitas lahan melalui peningkatan unsur hara dan perbaikan struktur tanah. Lahan pertanian di Indonesia saat ini telah mengalami pengurusan yang hebat dengan semakin banyaknya introdusir pupuk kimia dan pestisida sehingga residu bahan-bahan sintetis tersebut terakumulasi, mengganggu dan menurunkan produktifitas lahan.

Kotoran ternak yang didekomposisi menjadi pupuk organik, dilakukan melalui proses aerob selama 35 hari dengan pembalikan sebanyak lima kali (tujuh hari sekali). Proses pembuatan dilakukan seperti proses di bawah ini :

1.      Prinsip Dekomposisi

Bahan dasar pembuatan pupuk organik adalah kotoran sapi (faeces dan urine) dan serbuk gergaji yang didekomposisi dengan Stardec ditambah dengan bahan-bahan untuk memperkaya kandungan pupuk organik seperti abu dan kalsit. Kotoran sapi dipilih karena memiliki kandungan nitrogen, pottassium dan materi serat yang tinggi. Kotoran sapi merupakan kotoran ternak yang baik untuk kompos, karena tidak ada masalah polusi logam berat dan antibiotik. Kandungan phospor yang rendah harus disuplai dari sumber lain. Prinsip yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik adalah bahwa proses dekomposisi yang merupakan proses pengubahan limbah organik menjadi pupuk organik melalui aktifitas biologis pada kondisi yang terkontrol.

Dekomposisi pada prinsipnya adalah menurunkan C/N ratio limbah organik, membunuh biji tanaman liar (gulma), bakteri-bakteri patogen dan membentuk suatu produk yang uniform (seragam) yaitu pupuk organik. C/N rasio merupakan faktor pembatas pada proses dekomposisi.

Selama proses dekomposisi, mikroorganisme membutuhkan karbon untuk menyediakan energi dan Nitrogen yang berperan dalam pemeliharaan dan pembentukan sel-sel tubuh. C/N rasio yang baik berkisar antara 20 : 1 sampai 30 : 1, dan akan stabil saat mencapai perbandingan 15 : 1. C/N rasio yang terlalu tinggi mengakibatkan proses berjalan lambat karena kandungan nitrogen yang rendah, sebaliknya bila C/N rasio terlalu rendah akan mengakibatkan terbentuknya amoniak sehingga nitrogen akan hilang di udara. C/N rasio akan mencapai kestabilan saat proses berjalan sekitar lima minggu. Kondisi dekomposisi harus dibuat sedemikian rupa sehingga proses berjalan sempurna.

Kondisi yang terkontrol ini sangat penting agar proses dekomposisi berlang-sung secara kontinyu sampai terbentuk pupuk organik yang stabil dan berkualitas tinggi. Apabila kondisi tidak terkontrol akan terjadi pembusukan dan putrefaksi sehingga timbul bau yang menyengat (offensive odors), timbulnya nematoda, worm dan insekta.

Kondisi yang terkontrol ini terutama adalah :

  • Kadar air

Kadar air dipertahankan pada 60 %. Kadar air lebih dari 60 % akan menimbulkan kondisi yang anaerob dan bila kurang dari 60 % maka bakteri-bakteri pengurai tidak akan berfungsi.

  • Aerasi

Prinsipnya dekomposisi adalah aerob. Suplai oksigen pada timbunan kompos harus cukup. Untuk mencukupi oksigen pada timbunan kompos dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan pembalikan, force aeration (dapat dilaku-kan dengan kompresor), efek cerobong dan sebagainya.

  • Temperatur

Temperatur penting agar terjadi penurunan C/N ratio, membunuh weed seeds, bakteri patogen, parasit dan telur-telurnya.  Temperatur yang terjadi selama proses dekomposisi berkisar 60 – 70 oC selama minimal 3 minggu. Selama terjadi proses penurunan C/N ratio akan terjadi pembebasan CO2 yang akan diambil oleh tanaman berkhloropil menjadi Karbohidrat, Protein, Lemak dan sebagainya.

Pada dasarnya dekomposisi adalah kunci kehidupan dibumi. Apabila tidak terjadi dekomposisi, kehidupan dibumi akan musnah karena persediaan CO2 sebagai bahan dasar pembentukan karbohidrat tidak ada.

2. Proses Pembuatan

Kotoran sapi dan serbuk gergaji (dosis 5 – 10%) diambil dari kandang kemudian ditampung di dalam bak  penampung. Bak penampung dimaksud adalah sebidang tempat yang ternaungi dengan alas tanah berpasir.

Di atas tumpukan kotoran sapi dan serbuk gergaji tersebut ditabur Stardec dengan dosis 0,25% dari berat bahan baku, Abu pembakaran bahan organik dengan dosis 10% untuk meningkatkan suplai unsur Kalium dan kalsit (2%).  Keseluruhan bahan tersebut dicampur secara merata.

Setelah lebih kurang satu minggu, tumpukan dibalik untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan lalu dipindahkan ke bak penampung kedua. Pada tahap ini diharapkan terjadi peningkatan suhu sampai  70°C selama 3 (tiga) minggu untuk mematikan pertumbuhan biji gulma sehingga pupuk organik yang dihasilkan dapat bebas dari herbisida.

Setelah tiga minggu dalam bak penampung kedua, tumpukan dibalik lagi untuk dipindahkan ke bak ketiga selama satu minggu. Satu minggu kemudian, pupuk organik telah matang dengan warna pupuk hitam kecoklatan bertekstur remah tak berbau. Lalu pupuk diayak/disaring untuk mendapatkan bentuk seragam serta memisahkan dari bahan yang tidak diharapkan (misalnya batu, potongan kayu, rafia) sehingga pupuk organik yang dihasilkan benar-benar berkualitas. Selanjutnya pupuk organik siap dikemas dan siap diaplikasikan ke lahan sebagai  pengganti pupuk kimia.

3. Kandungan Pupuk Organik

Hasil analisa proksimat pupuk organik adalah :

Moisture                                           35-40  %

Seedling Experiment          Acceptable

Total N                                   >          1,81     %

P2O5 >          1,89     %

K2O                                         >          1,96     %

CaO                                         >          2,96    %

MgO                                       >          0,70    %

C/N Rasio                              <          16,0     %

Bakteri Patogen                               Bebas

4. Perbedaan antara Kompos Segar dan Matang

No.

Kompos Segar

Kompos Matang

1.

Nitrogen dalam bentuk ion amonium

Nitrogen dalam bentuk ion nitrat

2.

Sulfur sebagian bentuk ion sulfit

Sulfur dalam bentuk ion sulfat

3.

Diperlukan oksigen jumlah tinggi

Perlu oksigen jumlah rendah

4.

Konsentrasi hara tinggi

Konsentrasi hara rendah

5.

Hara tidak tersedia untuk tanaman

Hara tersedia untuk tanaman

6.

Konsentrasi vitamin dan antibiotik rendah

Konsentrasi vitamin dan antibiotik tinggi

7.

Konsentrasi bakteri tanah dan fungi tinggi yang mendekomposisi bahan organik

Konsentrasi bakteri tanah dan fungi lebih tinggi dari penguraian senyawa yang terdekomposisi

8.

Persentase senyawa organik yang tdk termineralisasi tinggi

Aras mineralisasi 50%

9.

Kapasitas pengikatan air rendah

Kapasitas pengikatan air tinggi

10.

Tidak ada komplek lempung-humus

Terbentuk komplek lempung-humus

11.

Tidak kompatibel dengan tanaman

Kompatibel dengan tanama

5. Fungsi Pupuk Organik

  1. Perangsang Tumbuh dan Pengkondisi Keadaan Tanah.
  2. Memperbaiki Porositas Tanah dan Memperbaiki Agregasi Tanah.
  3. Meningkatkan Permeabilitas Tanah dan Meningkatkan Daya Ikat Air.
  4. Meningkatkan Produktivitas Tanah, yang berimbas pada : Pertumbuhan, Hasil Panen, Rasa dan Aroma Produk

6. Manfaat Penggunaan Pupuk Organik

  • Mampu menggantikan atau mengefektifkan penggunaan pupuk kimia (anorganik) sehingga biaya pembelian pupuk dapat ditekan

  • Bebas dari biji tanaman liar (gulma) dan bakteri pathogen

  • Tidak berbau dan mudah digunakan

  • Menyediakan unsur hara yang seimbang dalam tanah

  • Meningkatkan populasi mikrobia tanah sehingga struktur tanah tetap gembur

  • Memperbaiki derajat keasaman (pH) tanah

  • Peningkatan produksi antara 10 – 30 %

7. Ciri-ciri Pupuk Organik Berkualitas

  1. Bebas Mikroorganisme Pathogen
  2. Bebas Parasit dan telur-telurnya
  3. Bebas Biji Tanaman Liar
  4. bebas Racun Tanaman, seperti  :
    1. Terpentin
    2. Asam Fenol Karboksilat
    3. Asam Lemak Mudah Terbang, antara lain :
  • Asam propionate dan Asam Butirat
  • Asam isobutirat dan Asam isovalerat
  • Asam benzoate
  1. Bebas Bau, seperti  :
    1. Amoniak
    2. Hydrogen Sulfida
    3. Metil Merkaptan
    4. Dimetil Sulfida dan Dimetil Disulfida

8. Percepatan Pengembangan dan Penggunaan Pupuk Organik

Menilik paparan di atas, pemanfaatan limbah organik sektor pertanian (termasuk di dalamnya sub sektor peternakan) digunakan untuk memberi nilai positif bagi usaha agribisnis yang dilakukan. Bahan organik yang dulunya menjadi ‘momok’ menakutkan seakan ‘tereinkarnasi’ menjadi potensi baru yang dapat dikembangkan sehingga menjadi cabang usaha atau masukan positif baru bagi usaha agribisnis yang dilakukan.

Perlu dilakukan sistem supervisi dan monitoring proses dekomposisi sisa bahan organik agar menjadi sumber daya potensial yang meliputi :

  1. Menekankan upaya komposting bahan organik pada ’’economic aspect of composting’’, sehingga pola komposting bahan organik lebih mengarah atau terfokus pada aspek managerial.
  2. Proses komposting sisa bahan organik diupayakan untuk dilakukan sedekat mungkin dengan sumber sisa bahan organik karena sifat bahan organik adalah ‘bulky’. Nilai positifnya adalah efisiensi transportasi.
  3. Proses komposting diharapkan dapat mengambil tenaga kerja dari luar (musiman) karena sifat proses komposting yang masih merupakan pekerjaan baru dan bersifat musiman. Mempekerjakan Tenaga Kerja tetap akan menimbulkan tam-bahan tingkat kerumitan, biaya, manajemen dan waktu.
  4. Kemudahan kerja proses dekomposisi Lembah Hijau Multifarm menunjuk satu Staf yang diberi tugas untuk mengulang pengertian mereka atas pengarahan yang diberikan. Lebih sedikit waktu yang dibutuhkan untuk mengulang perintah daripa-da mengulang pekerjaan.
  5. Staf yang ditunjuk dipastikan dapat memikul tanggungjawab untuk dapat melaku-kan pekerjaan dengan sepenuh hati.
  6. Upaya peningkatan hasil dan kontrol kualitas dapat dilakukan pula dengan mem-perbanyak pendelegasian. Karena jumlah dan kualitas akan lebih dapat dikendalikan bila didelegasikan dibanding bila ’’top management’’ melakukan sendiri, di samping memberi dan menambah konstribusi untuk orang lain.
  7. Pendelegasian wewenang akan lebih memberi hasil terbaik jika dibarengi dengan nilai kontrol yang sempurna, karena perbaikan atas kekeliruan atau kesalahan dan pemahamam terhadap nilai kerja akan semakin baik.
  8. Proses komposting sebaiknya dibuat alur produksi sehingga pada setiap titik alur dapat dilakukan pengontrolan kuantitas dan kualitas.
  9. Titik terpenting pada kompos yang telah tersosialisasi kepada konsumen adalah menciptakan ‘mata’ lain untuk menilai kompos yang telah dibuat. ‘mata’ lain se-ring lebih jeli dibandingkan dengan ‘mata’ yang selalu berada dalam sistem pro-duksi. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya klaim-klaim dari konsumen yang berakibat turunnya kredibilitas mitra, di samping penghematan bila harus menarik kompos yang sudah dikirim ditambah dengan serentetan pekerjaan lain yang lebih merumitkan.
  10. Kompos yang telah terdekomposisi, selain monitoring dan supervisi terhadap tahapan proses perlu dilakukan analisa laboratorium untuk monitoring kualitas hasil sebelum disosialisasi dan didistribusikan kepada konsumen.

9. Perjalanan Sosialisasi Pupuk Organik

Hal pertama yang dilakukan dalam melakukan sosialisasi Pupuk Organik yaitu, merubah paradigma petani Indonesia yang telah menerima kemudahan penggunaan pupuk dan pestisida sintetis.  Pekerjaan tersebut sangat tidak mudah.

Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain :

  • Pertama, membuat pupuk yang berkualitas sehingga mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro serta mampu memperbaiki dan menjaga kondisi lahan pertanian.
  • Kedua, membuat demonstrasi lahan untuk beberapa komoditas pertanian tentang tatacara penggunaan pupuk organik dan pestisida alami. Hasil demonstrasi akan menemukan formula dosis yang sesuai berdasarkan kondisi lahan dan jenis komoditas pertanian.
  • Ketiga, memberi pelayanan ‘lebih’ bagi para pengguna pupuk dan pestisida alami sehingga mereka merasa terperhatikan dan memiliki salah satu sumber penyelesaian masalah mereka.
  • Keempat, simbiosis mutualisma antara produsen dan konsumen. Misalnya, kita membantu mensosialisasikan produk organik yang dihasilkan petani dan petani membantu mensosialisasikan pupuk organik dan pestisida alami yang kita hasilkan.
  • Kelima, mengajak petani dan peternak yang memiliki limbah organik untuk diolah menjadi pupuk organik demi kepentingan lahan mereka.

SASARAN DAN TARGET PERTANIAN TERPADU

  • Meningkatkan kesejahteraan sosial – ekonomi penduduk miskin melalui upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
  • Menanggulangi situasi dan kondisi yang menyebabkan timbulnya kemiskinan.
  • Memperkuat kemampuan penduduk miskin untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kelompok Sasaran :

  • Penduduk miskin adalah anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah dan terbatas kemampuannya dalam mendapatkan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
  • Penduduk miskin adalah anggota masyarakat yang terbatas aksesnya dalam menghadapi masalah mendesak yang segera memerlukan penanganan dan bantuan.

RUANG LINGKUP

  • Mengembangkan kegiatan sosial – ekonomi penduduk miskin di wilayah pedesaan.
  • Membangun dan mengembangkan potensi ekonomi melalui koperasi.
  • Menyediakan kebutuhan pokok dan pelayanan dasar.
  • Penciptaan suasana yang mendukung upaya penanggulangan kemiskinan.

Jabarannya :

  • Peningkatan penciptaan dan perluasan kegiatan pembangunan agar tersedia cukup banyak aktifitas yang menghasilkan secara materiil.
  • Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keterampilan.
  • Melakukan pembimbingan dan pendampingan untuk memacu peningkatan pendapatan penduduk miskin.

PENDEKATAN

  • Keterpaduan (pembangunan menyeluruh, lintas sektor dan lintas daerah).
  • Kegotongroyongan (menumbuhkan rasa kebersamaan).
  • Keswadayaan (menitikberatkan kegiatan usaha yang berdasarkan pada kemandirian).
  • Partisipatif (melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan hasilnya).
  • Terdesentralisasi (setiap kegiatan terdelegasikan kepada semua komponen yang terlibat).

Jabarannya :

  • Orang miskin serba kekurangan sehingga merasa tidak berdaya.
  • Karena pendapatannya rendah, maka daya belinya juga rendah.
  • Ketakberdayaan mengesahkan mereka untuk tidak berpendidikan memadai.
  • Ketidakcukupan mentolerir mereka untuk seenaknya mensikapi kesehatan.
  • Ketidakmampuan memaklumkan mereka untuk berproduktivitas rendah.

PENUTUP

Manajemen penataan lingkungan yang baik pada usaha agribisnis sangat diperlukan untuk melahirkan aktifitas yang mampu meningkatkan daya dukung lahan dengan termanfaatkannya limbah organik sisa usaha menjadi kompos, sehingga akan memberikan suasana yang nyaman, menghilangkan gangguan karena limbah usaha, nilai estetika tinggi dan kemudahan dalam melakukan aktifitas.

  • Mengaplikasikan ‘zero waste’ sekaligus ‘zero cost’
  • Berdasarkan pengalaman di lapangan :
  1. Secara teknis layak, secara ekonomi feasible, sesuai dengan sosbud masyarakat, ramah lingkungan
  2. Model integrasi dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ, ada siklus biologis yang tidak terputus.
  3. Integrasi meningkatkan nilai efisiensi usaha dengan pemanfaatan by product sehingga akan menurunkan cost of production dan sekaligus meningkatkan pay of income

Yogyakarta, Juni 2009

Jamur 1

Budidaya jamur konsumsi di Indonesia, kian menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan sejak 1980-an, Indonesia mulai memasuki kancah perdagangan jamur dunia. Dan meskipun masih sangat kecil, Indonesia sudah termasuk salah satu negara pemasok utama jamur dunia di samping Spanyol, Belanda, RRC, Perancis, Belgia, Jerman, Jepang, Thailand dan Taiwan.

Tapi selain jadi pemasok, Indonesia juga termasuk pengimpor jamur yang tidak kecil. Bahkan tidak jarang, nilai impor jamur Indonesia lebih tinggi dibanding nilai ekspornya.

Hal ini dikarenakan konsentrasi produksi jamur Indonesia lebih banyak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri, seperti Singapura, Australia, Inggris, Jerman, Perancis dan Balanda, yang setiap tahun terus mengalami kenaikan sebesar 7,4%. Akibatnya, kebutuhan dalam negeri justru terabaikan.

Selain itu, jamur yang dibudidayakan di Indonesia kebanyakan baru Jamur Merang (Volvariella volvacea), Jamur Champignon (Agaricus bitorquis), Jamur Payung atau Shiitake (Lentinus edodes) dan Jamur Agarik (Agaricus bisporus). Sementara primadona jamur, yaitu Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus), justru belum banyak dibudidayakan.

Sebab budidaya Jamur Tiram Putih, yang termasuk dalam kelompok jamur kayu, umumnya menggunakan media tumbuh berupa batang atau cabang kayu, atau paling tidak limbah biologis yang berunsur kayu, yang tidak begitu mudah mendapatkannya. Padahal jamur ini bisa dibudidayakan dengan menggunakan bahan lain sebagai media tumbuh, seperti jerami gandum (wheat) dan jerami padi. Karena itu, dalam buku ini dipaparkan budidaya Jamur Tiram Putih dengan media jerami padi.

Tawaran terhadap jerami padi sebagai media tumbuh dalam pembudidayaan Jamur Tiram Putih, tidak lain berdasarkan pertimbangan bahwa limbah pertanian ini cukup melimpah jumlahnya, mudah didapat, harganya cukup murah dan yang terserap dalam budidaya Jamur Champignon maupun Jamur Merang serta keperluan lainnya, masih sangat sedikit.

Kebetulan, teknik budidaya Jamur Tiram Putih dengan media tumbuh jerami padi, tidak jauh berbeda dengan teknik budidaya Jamur Merang yang sedikit banyak sudah dikuasai sebagian besar masyarakat kita. Dengan begitu, harapan penulis, tidak terlalu banyak perubahan yang harus dilakukan. Terutama dalam pengelolaan dan pengolahan bahan. Sementara nilai tambah dari jamur ini, lebih tinggi.

Copy of Jamur 2

PENDAHULUAN

Dengan meningkatnya keinginan masyarakat menyantap hidangan sehat (menu makanan yang rendah garam, gula, lemak dan kolesterol), menyebabkan produk jamur memperoleh tempat yang terhormat dalam menu makan manusia masa kini. Sebab jamur diakui sebagai satu-satunya jenis sayuran yang diproduksi nyaris tanpa pupuk kimia dan pestisida.

Padahal dulu, oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, jamur dianggap komoditas yang sangat rendah nilainya. Selain dianggap tidak higienis dan tidak bergizi, jamur juga dianggap hanya layak dikonsumsi oleh golongan masyarakat kurang mampu dan miskin.

Sementara di Eropa, Cina, Jepang dan Taiwan, mengkonsumsi jamur sudah dilakukan lama sekali. Sudah lebih dari seribu tahun lalu. Malah sejak ratusan tahun lalu, jamur sudah termasuk komoditas yang mahal harganya.

Bagi bangsa Eropa, Cina, Jepang dan Taiwan, jamur yang dikonsumsi tidak hanya terbatas pada hasil mengumpulkan dari alam, tapi sudah mulai membudidayakannya. Baik untuk dikonsumsi sendiri, dijual di pasar lokal maupun diekspor ke berbagai negara konsumen. Sebab grafik permintaan akan jamur terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang dikeluarkan BPS (Biro Pusat Statistik), permintaan jamur di pasaran dunia, dari tahun ke tahun, terus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 7,4% per tahun.

Kecuali itu, di negara-negara tersebut, jamur bukan hanya sekadar komoditas yang lezat dan mahal, tapi juga diyakini bisa menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Malah beberapa jenis jamur sudah mereka gunakan sebagai bahan baku obat. Dengan begitu, jamur tidak sekadar komoditas pangan, namun juga komoditas terapi kesehatan dan pengobatan. Itulah sebabnya industri jamur di negara-negara tersebut sudah demikian maju dan berkembang dengan pesatnya.

Melihat kenyataan yang cukup menjanjikan ini, pemilik modal besar yang berinsting bisnis, serta memiliki jaringan pergaulan yang cukup luas, mulai coba-coba menginvestasikan dananya untuk membudidayakan beberapa jenis jamur yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta cukup mudah teknik maupun teknologi budidayanya secara besar-besaran. Sementara bagi yang bermodal kecil, hanya membudidayakannya dalam skala kecil (skala rumah tangga).

Sebab iklim Indonesia sangat cocok untuk menumbuhkan aneka jenis jamur dan bahan baku untuk media tumbuhnya juga sangat melimpah. Di samping itu, mutu atau kualitas jamur Indonesia diakui sebagai yang paling baik dibanding jamur dari Jepang, RRC, Taiwan, Belanda, Spanyol dan Prancis, yang selama ini menjadi pemasok utama jamur dunia.

Kalau di Eropa, Cina, Jepang dan Taiwan sudah begitu banyak jenis jamur yang dibudidayakan secara intensif, baik skala kecil maupun besar, di Indonesia jenis jamur yang sudah dikenal dan banyak dibudidayakan baru baru terbatas pada jamur yang menggunakan media tumbuh berupa jerami padi.

Untuk jamur yang menggunakan bahan baku berunsur kayu, terutama dari famili Strophariaceae, Boletaceae dan Tricholomataceae, belum begitu banyak dibudidayakan dan skalanya masih sangat kecil. Padahal jamur-jamur inilah yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena banyak dicari orang. Di antaranya adalah Jamur Kuping Hitam (Auricularia polytricha), Jamur Payung atau Shiitake (Lentinus edodus), Jamur Kuping Merah (Auricularia yudae), Jamur Kuping Putih (Tremella fuciformis), Jamur Tiram Merah (Pleurotus flabellatus), Jamur Tiram Abu-abu (Pleurotus sayor caju), Jamur Tiram Putih Lebar (Pleurotus cystidiosus), Jamur Tiram Coklat atau Abalone (Pleurotus abalonus) dan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus).

Masalahnya, teknik atau cara budidaya masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan produksi jamur di Indonesia. Selain itu, masyarakat Indonesia masih kebingungan dalam menentukan pilihan jenis jamur apa yang akan dibudidayakan dari sekian banyak jenis jamur yang ada. Sebab pilihan ini sangat erat kaitannya dengan teknik budidaya yang akan diterapkan dan akses pasarnya.

Salah satu jenis jamur yang layak dipertimbangkan jadi pilihan utama untuk dibudidayakan adalah Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). Selain nilai ekonomi jamur ini lebih tinggi dibanding Jamur Merang maupun Jamur Champignon, Jamur Tiram Putih alias Jamur Kerang ini juga memiliki kandungan gizi yang lebih baik dibanding jamur merang maupun champignon. Di samping itu, Jamur Tiram Putih juga lebih diyakini memiliki kemampuan sebagai komoditas terapi kesehatan maupun pengobatan.

Selebihnya, harga Jamur Tiram Putih lebih mahal dibanding harga jamur champignon maupun jamur merang. Dan jamur ini lebih banyak dicari konsumen luar negeri yang kebetulan berada di Indonesia.

Kecuali itu, meski termasuk dalam kelompok jamur kayu, bukan berarti media tumbuh jamur ini hanya terbatas pada batang/cabang kayu atau serbuk gergaji. Sebab pembudidayaan jamur ini juga bisa dilakukan pada media tumbuh berupa kapas, ampas tebu, klaras atau daun pisang kering, bonggol jagung, kulit kacang tanah, jerami gandum (wheat), rumput alang-alang dan jerami padi. Yang penting mengandung selulosa maupun lignin atau keduanya.

Karena Indonesia banyak memiliki limbah pertanian berupa jerami padi, tidak ada salahnya kalau Jamur Tiram Putih dibudidayakan dengan memanfaatkan limbah tersebut. Dengan begitu, harapan penulis, bukan saja akan memberi tambahan hasil bagi siapa saja yang mau membudidayakan komoditas ini, tapi program peningkatan kesehatan masyarakat dengan sendirinya juga akan terwujud. Apalagi biaya produksinya tidak semahal membudidayakan Shiitake, Maitake maupun Mannetake atau Reishi (Lingzhi).

Kebetulan, Jamur Tiram Putih termasuk salah satu jamur primadona di antara sekian banyak jenis jamur yang sudah dibudidayakan manusia. Sebab, kandungan gizinya paling baik dan juga memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, seperti tumor, kanker, influensa dan kaligata atau biduran. Jamur ini bahkan diperkirakan bisa pula untuk menyembuhkan penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi dan penyakit jantung maupun penyakit atau gangguan-gangguan yang berkaitan dengan masalah seksual.

Pada masa kekaisaran Cina, Jamur Tiram Putih atau Shimeiji bahkan dijadikan suplemen untuk hal-hal yang berkaitan dengan seksual. Tentang hal ini, sedang dilakukan penelitian secara intensif oleh para pakar perjamuran dunia, baik di Amerika Serikat, daratan Eropa mau pun Asia, khususnya Cina dan Jepang.

Tapi terlepas dari semua itu, kegiatan budidaya jamur sedikit banyak akan merupakan mata rantai cukup penting dalam perbaikan kondisi lingkungan. Karena sebagai kegiatan produksi, budidaya jamur umumnya lebih banyak memanfaatkan limbah biologis yang selama ini dihasilkan oleh masyarakat dan umumnya belum termanfaatkan dengan benar.

Nilai guna dari pemanfaatan limbah biologis, khususnya jerami padi untuk budidaya Jamur Tiram Putih, akan semakin tinggi kalau mengingat komoditas ini begitu terbuka pangsa pasarnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebab jamur dianggap sebagai komoditas pangan yang diproduksi nyaris tanpa bahan kimia.

SEPINTAS TENTANG DUNIA JAMUR

Menurut Alexopoulos dan Mims (1979), jamur (fungus, atau jamak dari fungi) merupakan organisme yang berinti sejati, tidak berklorofil, membentuk spora dan berkembangbiak secara seksual maupun aseksual, yang struktur somatiknya berbentuk benang bercabang-cabang, dengan dinding sel mengandung selulosa atau kitin atau keduanya, bersama dengan bahan organik bermolekul kompleks lainnya.

Karena jamur mengambil makanannya yang berupa bahan organik melalui absorpsi (penyerapan), yang dilakukan melalui tubuh vegetatif dan tidak melalui alat khusus, Whittaker (1969) tidak memasukkan jamur sebagai tumbuhan tapi dimasukkan dalam golongan tersendiri, yaitu Dunia Jamur yang menduduki urutan ketiga dari Sistem Lima Dunia (Five-Kingdom System).

Urutan selengkapnya Sistem Lima Dunia atau Five-Kingdom System menurut Whittaker adalah sebagai berikut :

  1. Dunia Tumbuhan (Plantae)  : bersel banyak, eukariotik, mengambil makanannya dengan fotosintesis.
  2. Dunia Binatang (Animalia) : bersel banyak, eukariotik, mengambil makanannya melalui alat pencernaan.
  3. Dunia Jamur (Fungi) : bersel banyak, eukariotik, mengambil makanannya dengan penyerapan (absorpsi).
  4. Dunia Monera : bersel 1 (satu), tidak mempunyai inti sejati (prokariotik).
  5. Dunia Protista : bersel 1 (satu) dan mempunyai inti sejati (eukariotik).

Tumbuhan dan binatang juga mengambil makanannya melalui penyerapan. Tapi kalau tumbuhan penyerapannya melalui alat khusus yang disebut akar, kemudian memprosesnya melalui fotosintesis. Sementara penyerapan makanan binatang berlangsung di dalam alat pencernaan. Oleh sebab itu, jamur terpisah dari tumbuhan dan binatang.

Sifat-sifat umum jamur, tubuh vegetatifnya tidak dapat dibedakan adanya akar, batang dan daun yang sebenarnya; mempunyai inti sejati; tidak mempunyai klorofil; tidak mempunyai berkas pengangkutan; alat reproduksinya tidak dilindungi oleh lapisan sel-sel steril. Bentuk tubuh vegetatifnya berupa benang berca-bang-cabang yang disebut hifa.

Dinding hifa mengandung selulosa atau kitin atau keduanya. Kadang juga mengandung bahan organik bermolekul kompleks yang biasanya berupa polisakarida, seperti glukan, mannan, kitosan dan glikogen. Hifa memanjang dengan pertumbuhan ujung, tapi setiap bagian dari hifa mempunyai kemampuan untuk tum-buh menjadi individu baru. Ciri-ciri inilah yang membedakan antara jamur (fungi) dengan apa yang dinamakan Bryophyta.

Pada dasarnya, tubuh vegetatif semua jenis jamur mirip satu sama lain. Perbedaannya, ada yang bersekat (seluler) dan ada yang tidak bersekat (senositik). Sekatnya, ada yang berupa sekat padat seperti pada Zygomycetes, sekat berpori seperti pada Ascomycetes, dan sekat dolipori seperti pada Basidiomycetes.

Sedang makanan jamur umumnya berupa makanan yang sudah jadi. Sebab jamur tidak dapat membuat makanannya sendiri. Tapi bila diberi karbohidrat tertentu, terutama glukosa, sukrosa atau maltosa, kebanyakan jamur bisa mensintesis proteinnya sendiri dengan menggunakan sumber nitrogen anorganik atau organik bersama unsur esensiil untuk pertumbuhannya, seperti C, O, H, N, P, K, Mg, S, B, Mn, Cu, Mo, Fe dan Zn. Sama persis dengan yang dibutuhkan oleh tanaman atau tumbuh-tumbuhan.

Unsur Ca biasanya hanya diperlukan oleh beberapa jenis jamur saja. Sementara glukosa merupakan sumber C terbaik, dan senyawa N merupakan sumber N terbaik, diikuti amonium dan nitrat. Suhu untuk pertumbuhan jamur berkisar antara 0-350C. Tapi suhu optimum antara 20-300C. Untuk jamur termofilik, suhu minimumnya 200C atau lebih dan suhu maksimumnya 500C atau di atasnya. Untuk pertumbuhan jamur, diperlukan medium asam.

Masih menurut Alexopoulos dan Mims (1979), studi sistemik mengenai jamur baru berumur sekitar 300 tahun. Tapi manifestasi kelompok organisme ini sudah dikenal selama ribuan tahun. Lebih lama dari manusia mengenal gulma untuk pertama kali.

Tapi seperti halnya gulma, jamur ada yang berfungsi atau bersifat sebagai lawan dan ada pula yang sebagai kawan. Hanya saja, untuk jamur, tidak ada keluhan yang begitu tragis dan dramatis dalam hal dampak negatifnya dibandingkan dengan gulma. Hal ini dikarenakan, tiap-tiap jenis jamur sudah memiliki tugas khusus yang spesifik, yang dalam dunia gulma hal tersebut tidak ada.

Kecuali itu, jamur memainkan peranan penting dalam perubahan yang berlangsung di sekitar kita. Walaupun tampak lamban, namun sangat konstan. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, hampir setiap saat, tanpa kita sadari, kita telah terpengaruh oleh aktivitas jamur. Terlepas dari pengaruh yang menguntungkan atau merugikan.

JENIS-JENIS JAMUR

Berdasarkan penelitian beberapa pakar jamur, kelompok organisme saprofit autotrof ini sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Sejak toast pertama dilakukan dengan kulit kerang yang diisi penuh dengan anggur dan roti bakar. Itulah sebabnya banyak kita dengar tentang cerita maupun legenda seputar jamur di atas bumi ini.

Penduduk Romawi kuno menganggap Jamur Payung dan Jamur Umbi (truffle) berasal dari halilintar yang dilemparkan ke bumi oleh Jupiter. Sedang bangsa Mexico dan Guatemala percaya kalau jamur tertentu, seperti Amanita muscaria, ada hubungannya dengan guntur dan halilintar.

Maka tidak mengherankan kalau jamur selalu hadir dalam acara keagamaan, baik di Roma, Mexico maupun Guatemala. Bahkan di Muntilan, yang termasuk dalam wilayah Magelang, Jawa Tengah, pernah ada jamur marga Lactarius, yang garis tengah tudungnya 27 cm, disembah-sembah sambil membakar kemenyan, untuk ngalap berkah, karena dianggap sebagai jelmaan pusaka keraton. Apalagi jamur itu sering mengeluarkan getah atau cairan, yang kalau terkena udara berubah menjadi merah, mirip darah.

Hal ini menarik minat para pakar untuk melakukan penelitian terhadap jamur. Hasil yang diperoleh cukup mengejutkan. Sebab ada puluhan ribu jenis dan ragam jamur yang bisa ditemukan tumbuh secara alami di alam bebas. Terutama di tempat-tempat yang lembab dan banyak bahan organiknya, misalnya seperti di dalam dan sekitar hutan, padang rumput atau sabana (savana) maupun di daerah lembah dan ngarai.

Dalam kehidupan sehari-hari, hampir setiap saat kita terpengaruh oleh aktivitas jamur. Baik oleh pengaruh menguntungkan (jamur sebagai kawan) mau pun pengaruh merugikan (jamur sebagai lawan). Tapi umumnya, jamur yang menjadi lawan berbeda jenisnya dengan jamur yang jadi kawan, walau ada jamur dari jenis sama dapat sebagai lawan dan kawan kalau tumbuh pada substrat yang berbeda. Sebab spora jamur bisa terdapat di dalam air, di atas atau di dalam tanah, di udara maupun di permukaan benda dalam jumlah banyak.

Bila mendapat kelembaban, walau hanya sedikit, spora-spora itu dapat berkecambah dan tumbuh pada setiap substrat organik dari yang lunak seperti jelai, bahkan cairan, sampai yang keras seperti tas dan sepatu dari kulit maupun lensa kamera dan mikroskop. Itulah sebabnya kita bisa menemukan jamur tumbuh di mana-mana Malah di tempat-tempat yang tidak pernah kita duga bisa ditumbuhi jamur, karena tempat itu tidak terlalu lembab dan tidak begitu banyak media atau substrat organik di sekitarnya.

Menurut penelitian para ahli jamur, di atas bumi ini terdapat dua kelompok besar jamur. Yaitu jamur yang tumbuh liar secara alami di berbagai media atau substrat dan tidak dapat dimakan, serta jamur yang dapat dimakan meski tumbuh liar. Beberapa jamur liar yang dapat dimakan, karena diketahui manfaatnya, lalu sengaja ditumbuhkan pada media atau substrat tertentu oleh manusia, kemudian disebut sebagai jamur budidaya. Ada yang dibudidayakan dalam skala terbatas, tapi ada juga yang dibudidayakan secara besar-besaran.

A. Jamur Yang Tidak Dapat Dimakan

Karena sifat, bentuk, kandungan dan pengaruhnya yang sangat tidak meng-untungkan, jamur jenis ini dianggap liar dan tidak dapat dimakan. Menurut Agrios, jumlahnya lebih dari 100.000 jenis. Sekitar 8.000 jenis merupakan penyebab penyakit pada tumbuh-tumbuhan, 100 jenis merupakan penyebab penyakit pada binatang, 50 jenis merupakan penyebab penyakit pada hewan air, 50 jenis merupakan penyebab penyakit pada manusia dan beberapa puluh jenis lagi merupakan penyebab penyakit, baik pada manusia, binatang maupun tumbuhan.

Dari 100.000 jenis jamur liar tersebut, ada beberapa jenis yang mempunyai pengaruh menguntungkan bagi manusia, binatang serta tumbuh-tumbuhan. Tapi ada pula beberapa jenis jamur yang ternyata bisa dimakan, meski tidak secara langsung. Sebab jenis-jenis jamur ini harus mendapat perlakuan terlebih dulu. Jadi bukan jamurnya yang secara langsung dimakan, tapi pengaruhnya setelah mendapat perlakuan lebih lanjut.

Jamur-jamur yang dimaksud adalah jamur yang digunakan dalam industri fermentasi, dalam pembuatan makanan, minuman, asam organik serta jamur penghasil antibiotika dan lain sebagainya. Untuk jenis jamur yang tidak bisa dimakan, di antaranya :

1. Jamur Saproba

Jamur ini, yang hidup sebagai saproba, ada yang berperan sebagai lawan dan ada yang sebagai kawan. Jamur yang berfungsi sebagai lawan, karena mempunyai pengaruh merugikan atau merusak, antara lain Aspergillus, Penicillium, Rhizopus, Mucor, Monilia, Fusarium dan Trichoderma. Sedang jamur yang menghasilkan toksin (racun) adalah Aspergillus flavus (penghasil aflatoksin penyebab penyakit kanker hati) dan Penicillium toxicarium (penghasil toksin penyebab penyakit beri-beri).

Jamur saproba liar yang pengaruhnya paling merugikan, di antaranya jamur perusak kayu, baik kayu yang masih hidup (pohon) maupun kayu bangunan. Jamur golongan ini merusak kayu dengan bantuan asam dan enzim yang disekresikan, dan dari kayu yang dicerna dibebaskan air, CO2 dan panas.

Yang termasuk jamur saproba perusak kayu, antara lain adalah Polyporus rheades, Polyporus sulphureus, Polyporus amarus, Polyporus basilaris, Fomes igniarius, Fomes pinicola dan Merulius lachrimans.

Jenis jamur perusak kayu biasanya mensekresikan berbagai macam enzim yang berbeda. Kerusakan yang diakibatkan juga berbeda dan dapat digolongkan menjadi busuk putih (white rots), busuk kantong putih (white pocket rots), busuk tali putih (white stringy rots), busuk kubus coklat (brown cubical rots) dan lain sebagainya.

Memang tidak semua jamur saproba merusak. Sebab ada pula yang mengun-tungkan. Di antaranya jamur tanah yang dapat merombak bahan organik di dalam tanah, baik berupa sisa tumbuhan maupun binatang mati, dan membebaskan bahan makanan yang penting bagi tumbuhan. Misalnya Zygorhynchus, Cunninghamella, Thamnidium, Scopulariopsis, Absidia, Sartorya, Eurotium, Emericella, Tritira-chium, Ostrachoderma, Gonatobotrium dan Umbellopsis.

2. Jamur Mikoriza

Jamur yang berpengaruh, tanpa adanya perlakuan terhadap jamur yang bersangkutan, tapi pengaruhnya menguntungkan secara tidak langsung, yaitu jamur yang hidup bersimbiosis dengan akar tanaman tinggi dan membentuk mikoriza. Dalam hal ini, tanaman mendapatkan unsur P dari jamurnya dan jamur mendapatkan karbohidrat (hasil fotosintesis) dari tanamannya. Jadi, kedua simbion saling meng-untungkan.

Yang termasuk dalam kelompok jamur ini adalah Endogone, Entrophos-pora, Gigaspora, Glaziella, Glomus, Sclerocystis, Amanita, Cortinarius, Boletus dan Acaulospora (jamur pembentuk endomikoriza), serta Rusula, Lactarius, Gonphidius, Rhizopogon, Inocybe, Paxillus, Entoloma, Tricholoma, Armillaria, Suillus dan Leccinum (jamur pembentuk ektomikoriza).

3. Jamur Patogenik

Jamur yang mempengaruhi kehidupan makhluk hidup tanpa ada perlakuan terhadap jamur-jamur tersebut, tapi dapat menjadi penyebab penyakit pada manusia, binatang (termasuk hewan air) dan tumbuhan, biasanya disebut sebagai jamur patogenik.

Menurut Agrios (1988), ada 50 jenis jamur penyebab penyakit pada manusia dan 50 jenis lagi pada binatang. Tapi di antara keseratus jamur tersebut, ada yang bisa menyerang manusia dan sekaligus menyerang binatang.

Di antara sekian banyak jenis jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia dan tergolong berbahaya adalah Dermatophyton, terutama suku Moniliaceae dari kelas Hyphomycetes. Selain bisa menjadi penyebab timbulnya penyakit kulit (dermatitis), juga dapat menyebabkan penyakit lainnya.

Jamur lain yang juga berbahaya adalah Trichophyton, Histoplasma, Sporotrichum, Geotrichum, Candida (penyebab penyakit candidiasis), Blastomyces (penyebab blastomycosis), Coccidioides (penyebab coccidioidomycosis), Absidia pulcherima dan Mucor haemalis (menyerang alat dalam dan penyebab sesak nafas), Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus dan Aspergillus niger (penyebab penyakit aspergilosis yang gejalanya mirip tuberkulosis, tapi lebih banyak diderita burung, sapi, domba dan kuda), dan Microsporum canis, Microsporum distortum, Trichophyton verrucosum, Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton equinum serta Trichophyton gallinae (lebih banyak menyerang anjing, kucing, kuda, sapi dan babi, tapi mudah menular pada manusia).

Selain vertebrata, binatang yang tergolong avertebrata juga dapat terserang jamur. Jika avertebrata itu Arthropoda atau Nematoda parasitik, maka jamur penyerangnya dapat digunakan untuk pengendalian hama tumbuhan yang dikenal sebagai pengendalian hayati atau biocontrol.

Jamur patogenik yang menyerang Arthropoda parasitik di antaranya adalah Beuveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Hirsutella thompsonii, Verticillium lecanii, Ceratocystis ulmi dan Entomophthora. Sedang jamur patogenik yang menyerang Nematoda parasitik di antaranya Catenaria, Haptoglosa, Arthrobotrys oligosporus, Nematoctonus leiosporus, Harposporium anguillulae, Trichothecium roseum, Dactyella passalopaga, Cystopage, Stylopage dan Meria.

Ikan dan telur ikan juga dapat terserang oleh jamur. Strain tertentu dari jamur Saprolegnia parasitica menyebabkan penyakit pada ikan dan telur ikan. Bahkan dapat menimbulkan kerusakan nyata pada tempat penetasan telur ikan, baik milik pemerintah maupun milik swasta. Juga ada banyak jamur yang menyerang udang di tambak-tambak, baik yang dikelola secara tradisional maupun yang dikelola secara profesional.

Jamur untuk pengendalian hayati (biocontrol) yang dapat digunakan untuk pengendalian gulma antara lain Cercosporella ageratina untuk mengendalikan gulma Eupatorium riparium Regel yang terdapat di perkebunan teh, Cercospora rodmanii suatu mikoherbisida untuk mengendalikan enceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Soms), Phytophthora palmivora sebagai mikoherbisida dengan nama DEVINE untuk mengendalikan gulma Morrenia odorata Lindl (strangler vine) di perkebunan jeruk, dan mikoherbisida dengan nama COLLEGO, formulasi dari Colletotrichum gloeosporioides f. sp. aeschynomene, untuk mengendalikan gulma Aeschynomene virginica (L) BSP di pertanaman padi dan kedelai.

4. Jamur Tumbuhan

Seperti telah disebutkan terdahulu, Agrios (1988) menyatakan ada lebih dari 8.000 jenis jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada tumbuhan dan dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar.

Salah satu contoh adalah Phytophthora infestans yang menyebabkan penyakit late blight pada kentang. Di Irlandia, jamur ini pada 1845-1846 menyebabkan kelaparan yang berakibat kematian ratusan ribu orang dan terjadi imigrasi lebih dari 1,5 juta orang Irlandia ke Amerika Serikat.

Jamur lainnya adalah Peronosclerospora maydis yang menimbulkan penyakit bulai pada jagung, Alternaria pori (penyakit trotol pada bawang putih), Fusarium batatatis (penyakit busuk batang pada vanili), Synchitrium psophocarpi (penyakit karat palsu pada kecipir), dan Meliola (penyakit bercak daun hitam pada tanaman berdaun kaku, seperti jambu, melati, kayu putih, mangga, kaca piring dan sebagainya).

Kecuali itu, Puccinia sorghi dan Puccinia polysora (penyebab penyakit karat pada jagung), Hemileia vastatrix (penyebab penyakit karat pada kopi), Exobasidium vexans (penyebab penyakit cacar teh), Pestalotia palmarum (penyakit bercak daun kelapa), Ustilago maydis (penyakit gosong bengkak pada jagung), Upasia salmonicolor (penyakit upas pada tumbuhan berkayu), Phyllosticta (penyakit cacar daun cengkeh), Corynespora casiicola (penyakit gugur daun pada tanaman karet), Colletothricum gloeosporioides (penyakit antraknose pada cabe), Rhizoctonia solani (penyakit busuk upih daun pada jagung) serta Plasmopara viticola (penyakit embun palsu pada tanaman anggur).

Sementara jamur untuk pengendalian hayati yang juga untuk pengendalian jamur penyebab penyakit tumbuhan adalah Cincinnobolus cesatii (Coelomycetes) pengendali Spaerotheca pada mentimun, Cladobotryum amazonense pengendali Crinipellis perniciosa penyebab penyakit sapu pada kakao, Trichoderma viridae pengendali Rhizoctonia solani dan Armillaria mellea yang membunuh banyak jenis pohon, Trichoderma harzianum pengendali Sclerotium rolfsii pada tomat dan kacang tanah, Trichoderma sp pengendali Stereum purpureum penyebab penyakit daun perak pada plum; Heterobasidion annosum (penyakit akar) dan pengendali Verticillium fungicola penyakit serius pada Agaricus brunnescens, Peniophora gigantea pengendali Heterobasidion pada pinus, Chaetomium globosum pengendali Spilocaea pada apel dan Fusarium roseum pada jagung, serta Verticillium alboatrum pengendali patogenik pada tanaman kapas.

5. Jamur Fermentasi

Berbeda dengan jamur yang berpengaruh merugikan bagi kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan, pengaruh jamur yang menguntungkan tidak akan ada kalau tidak ada perlakuan terhadap jamur yang dimaksud. Umpamanya jamur yang digunakan dalam industri fermentasi, pembuatan makanan, minuman, asam organik, penghasil antibiotika dan sebagainya.

Jamur-jamur yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Penicillium roqueforti pada pembuatan keju roquefort, Penicillium camemberti bersama Oidium lactis dan beberapa jenis bakteri membentuk struktur keju camembert, Aspergillus oryzae dan Aspergillus wentii dalam pembuatan kecap, Rhizopus stolonifer atau Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae dan Rhizopus arrhizus dalam pembuatan tempe, Aspergillus atau Rhizopus digunakan sebagai penghasil enzim amilase pada pembuatan minuman yang mengandung alkohol, Aspergillus oryzae juga digunakan sebagai penghasil protease pada pembuatan roti.

Sementara Rhizopus oryzae dan Chlamydomucor oryzae pembentuk dekstrosa digunakan untuk membuat tape dan brem, Rhizopus nigricans selain digunakan dalam pembuatan tempe kedelai juga bisa digunakan dalam pembuatan tempe bongkrek kacang dan tempe bongkrek kelapa, Monilia sitophila untuk pembuatan oncom, Saccharomyces cerevisiae yang membentuk tekstur pada pembuatan roti, Saccharomyces carlsbergensis untuk pembuatan bir lager dan Saccharomyces cerevisiae bisa untuk membuat bir ale.

Jamur-jamur fermentasi bila tumbuh pada substrat atau media yang tidak diperuntukkan baginya, dapat menjadi jamur kontaminan atau jamur pengganggu yang merugikan. Tapi jamur kontaminan kadang bisa menguntungkan karena dapat menjadi petunjuk untuk penemuan baru. Satu contoh pada penemuan antibiotika penisilin.

Penemuan antibiotika penisilin diilhami dari tumbuhnya jamur Penicillium notatum sebagai jamur kontaminan, pada waktu Flemming (1929) mengisolasi bakteri Staphylococcus aureus yang pertumbuhannya dihambat oleh substansi yang dikeluarkan oleh jamur kontaminan tersebut. Penemuan tidak sengaja ini kemudian dikembangkan sehingga ditemukan antibiotika penisilin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia di seluruh dunia.

Contoh lain jamur kontaminan yang menguntungkan adalah Jamur Tiram Putih yang dibudidayakan pada media tumbuh jerami padi.

B. Jamur Yang Dapat Dimakan

Dibanding jamur liar yang tidak dapat dimakan, jamur yang dapat dimakan jumlahnya memang lebih sedikit. Sebagian besar jamur yang dapat dimakan adalah jamur yang tumbuh liar pada media atau substrat tertentu. Sementara jamur yang sudah bisa dibudidayakan oleh manusia, jumlahnya masih sangat sedikit.

Kendati demikian, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan buruk, jamur yang diperjualbelikan dan beredar di pasaran, baik dalam bentuk segar, kering mau pun kalengan, jenis serta ragamnya masih sangat terbatas dan tidak begitu banyak. Umumnya merupakan jamur yang dihasilkan dari proses budidaya manusia. Cuma sedikit yang merupakan jamur liar.

Untuk memudahkan pembaca memahaminya, akan diuraikan serba sedikit tentang jamur yang dapat dimakan, baik yang selama ini masih tumbuh secara liar maupun yang merupakan hasil budidaya manusia.

1. Jamur Liar yang Dapat Dimakan

Jenis jamur ini umumnya tergolong Ascomycetes, baik yang tubuh buahnya berupa apotesium majemuk maupun yang tubuh buahnya berbentuk bulat dan terdapat di dalam tanah yang untuk mendapatkannya kadang diperlukan bantuan anjing maupun babi yang sudah dilatih.

Di antaranya adalah Scleroderma aurantium (jamur so), Gymnopus microcarpus (jamur cepaki), Termitomyces (jamur barat), Schizophyllum alneum dan Schizophyllum commune (jamur grigit), Boletus bovinus dan Boletus edulis (jamur hati), Lentinus sayorcaju (jamur sayor kayu), Fistulina hepatica (jamur bestik), Leitiporus miniatus (jamur jantung), Morcella crassipes, Morcella esculenta dan Morcella hortensis (jamur morel), serta Tuber rufum dan Tuber aestivum (jamur umbi).

2. Jamur Budidaya

Dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, makin banyak jamur yang bisa dimakan berhasil dibudidayakan manusia dalam media tumbuh berupa limbah tanaman, sehingga untuk mendapatkan dan memanfaatkannya tidak lagi bergantung pada tempat dan musim tertentu. Apalagi setelah jamur memasuki deretan makanan elit dunia.

Umumnya, jamur yang banyak dibudidayakan manusia adalah yang berasal dari kelas Basidiomycetes, baik yang termasuk famili atau suku Tremellaceae, Auriculariaceae, Cantharellaceae, Strophariaceae, Boletaceae, Agaricaceae mau pun Tricholomataceae. Selain ukuran tubuh buahnya cukup besar, secara ilmiah diakui memiliki kelayakan untuk dikonsumsi manusia.

Untuk masyarakat Indonesia, jenis jamur yang paling umum dibudidayakan adalah jamur merang (Volvariella volvacea), jamur agarik (Agaricus bisporus), jamur champignon (Agaricus bitorquis) dan jamur kayu (Auricularis sp). Sementara jenis jamur yang baru mulai dibudidayakan, antara lain jamur tauge (Flammulina velutipes), jamur lingzhi (Ganoderma lucium), jamur kepala monyet (Pholiota squarosa), jamur morel (Morchella esculenta), jamur payung atau shiitake (Lentinus edodus), jamur truffle (Tuber melanosporum) dan jamur boletus (Boletus edulis).

Sebagai organisme saprofit autotrof, jamur kayu tergolong yang paling banyak jenisnya. Beberapa yang sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia adalah jamur kuping hitam (Auricularia polytricha), jamur kuping merah (Auricularia yudae), jamur kuping putih (Favolus spathulatus), jamur payung atau shiitake (Lentinus edodus), jamur jengkol (Tremella fuciformis), jamur kerang (Tricholoma), jamur tiram merah (Pleurotus flabellatus), jamur tiram putih atau shimeiji (Pleurotus ostreatus), jamur tiram abu-abu (Pleurotus sayor caju), jamur tiram putih lebar (Pleurotus cystidiosus), jamur tiram coklat atau abalone (Pleurotus abalonus) dan jamur tiram pink (Pleurotus sapidus).

Meski dinamakan jamur kayu, bukan berarti media tumbuhnya terbatas pada batang atau cabang kayu yang masih hidup maupun yang sudah mati, atau pada serbuk gergaji. Sebab di beberapa negara produsen jamur, pembudidayaan jamur kayu juga dilakukan pada media tanam berupa kapas, ampas tebu, ampas aren, wheat atau jerami gandum, kulit kacang tanah, klaras atau daun pisang kering, bonggol jagung dan rumput alang-alang. Yang penting, merupakan limbah tanaman yang mengandung selulosa dan lignin. Hanya saja, yang paling banyak dan umum digunakan adalah batang atau cabang kayu dan serbuk gergaji.

Karena yang paling banyak dan mudah ditemukan di Indonesia adalah jerami padi, maka tidak ada salahnya kalau membudidayakan sebagian jamur kayu dalam media tumbuh berupa jerami padi. Khususnya Jamur Tiram Putih atau Shimeiji.

MENGENAL JAMUR SHIMEIJI

A. Karakteristik dan Morfologi

Dari sekian banyak jamur budidaya yang memiliki prospek paling cerah adalah Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) atau yang juga dikenal dengan nama Jamur Shimeiji atau Oyster Mushroom, yang mempunyai tangkai tudung tidak tepat di tengah dan tidak bulat benar. Warna tudungnya putih susu sampai putih kekuningan, dengan jari-jari 3-14 cm.

Berdasarkan mekanisme klasifikasinya, Jamur Tiram Putih atau Shimeiji mempunyai sistem sebagai berikut :

Divisi              : Amastigomycota

Sub Divisi      : Basidiomycotina

Kelas              : Basidiomycetes

Sub Kelas      : Holobasidiomycetidae

Golongan      : Hymenomycetes

Ordo               : Agaricales

Famili            : Tricholomataceae

Genus            : Pleurotus

Menurut data yang dikeluarkan FAO, hasil analisis pakar-pakar di Institute Diatetics London, Jamur Tiram Putih atau Jamur Shimeiji memiliki kandungan protein sebesar 2,75-3,02%, lemak 0,56%, vitamin B2 44,0 mg/100 g, karbohidrat 6,2%, asam nikotin 1,6 mg/100 g dan 18 macam asam amino seperti yang tercantum dalam tabel di bawah ini, yaitu :

Tabel 1. 18 Asam Amino dalam Jamur Shimeiji atau Jamur Tiram Putih

No

Nama Asam

Kandungan

No

Nama Asam

Kandungan

1. Alanine 7,0 g/100 g 10. Aspartic acid 9,3   g/100 g
2. Arginine 6,3 g/100 g 11. Glutamic acid 17,0   g/100 g
3. Cystine 0,6 g/100 g 12. Phenylalanine 4,1   g/100 g
4. Glycine 5,9 g/100 g 13. Tyrosine 2,61 g/100 g
5. Histidine 2,4 g/100 g 14. Trytophan 0,3   g/100 g
6. Leucine 12,6 g/100 g 15. Methionine 2,1   g/100 g
7. Lysine 6,3 g/100 g 16. Valine 6,3   g/100 g
8. Proline 5,4 g/100 g 17. Threonine 6,8   g/100 g
9. Serine 6,3 g/100 g 18. Isoleusine 0,3   g/100 g

Sumber : FAO


B. Jenis dan Varietas

Karena dulu Jamur Tiram Putih ditumbuhkan pada media tanam berupa limbah biologis yang mengandung unsur kayu, maka jamur ini selalu dimasukkan dalam kelompok jamur kayu yang terkenal paling banyak jenis maupun varietasnya.

Untuk ordo Agaricales saja, paling tidak ada 6 (enam) famili, yaitu Cantharellaceae, Tremellaceae, Strophariaceae, Boletaceae, Moniliaceae dan Tricholomataceae. Dan Jamur Tiram Putih yang berasal dari famili Tricholomataceae dianggap berkerabat dekat dengan Jamur Kuping Hitam (Auricularia polytricha), Jamur Kuping Merah (Auricularia yudae), Jamur Kuping Putih (Tremella fuciformis), Jamur Payung atau Shiitake (Lentinus edodus), Jamur Jengkol (Tricholoma).

Padahal, Jamur Tiram Putih punya saudara kembar seperti Jamur Tiram Me-rah (Pleurotus flabellatus), Jamur Tiram Putih Lebar (Pleurotus cystidiosus), Jamur Tiram Coklat atau Abalone (Pleurotus abalonus), Jamur Lingzhi (Ganoderma lucium) dan Jamur Kepala Monyet (Pholiota squarosa).

C. Lingkungan Tumbuh

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, budidaya Jamur Tiram Putih bisa dilakukan pada media tumbuh berupa jerami padi, karena bahan ini mengandung selulosa, kitin maupun lignin atau ketiga-tiganya.

Jamur Tiram Putih atau Shimeiji yang dibudidayakan dengan jerami padi, membutuhkan suhu sekitar 15-250C. Agar pertumbuhan miselium dan badan buah jamur berlangsung dengan baik, dibutuhkan kelembaban sekitar 80-95%. Bila kelembaban lingkungan di bawah standar, pertumbuhan miselium dan badan buah akan terhambat, sehingga produktifitas akan menurun.

Intensitas cahaya matahari tidak begitu dibutuhkan. Sebab cahaya hanya bersifat mendorong pembentukan pinhead dan perkembangan badan buah saja. Karena itu, dalam pembuatan kumbung atau rumah produksi, dianjurkan terlindung oleh pohon-pohon untuk mengurangi intensitas cahaya yang terlalu tinggi.

Jamur Tiram Putih atau Shimeiji justru membutuhkan sirkulasi udara segar untuk pertumbuhannya secara baik. Pada media tanam yang agak asam, dengan pH sekitar 5,5-7, Jamur Tiram Putih juga bisa berkembang dengan baik. Pertumbuhannya sampai siap dipanen, memerlukan waktu kurang lebih 4-8 minggu. Tapi karena jamur ini mudah menjadi busuk dan lunak serta becek (putresen), maka pemanenannya harus dilakukan tepat waktu dan pengemasannya harus benar-benar baik.

Menurut analisis yang dilakukan sejumlah pakar jamur di Pusat Antar Uni-versitas (PAU) Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, maupun para peneliti di Laboratorium Mikologi Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, komposisi nutrien atau kandungan gizi Jamur Shimeiji alias Jamur Tiram Putih yang ditumbuhkan pada media tanam jerami lebih baik dan lebih lengkap bila dibandingkan dengan kandungan gizi jamur yang sama yang ditumbuhkan pada media lain.

Bahkan masih lebih baik dibanding kandungan gizi Jamur Merang maupun Jamur Champignon, yang juga sama-sama ditumbuhkan pada media jerami. Hasil analisis tersebut bisa dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Nilai Gizi Jamur Shimeiji per 100 gram Bahan

No.

Unsur yang dikandung

Basah

Kering

1.

Karbohidrat 57,6 gram 65,0 gram

2.

Protein 30,4 gram 27,4 gram

3.

Air 90,8 gram 10,7 gram

4.

Lemak 2,2 gram 1,0 gram

5.

Serat 8,7 gram 8,3 gram

6.

Abu 9,8 gram 6,6 gram

Sumber : PAU Pangan dan Gizi UGM, 1990

Kalau melihat komposisi zat gizi yang terkandung dalam Jamur Shimeiji yang dibudidayakan pada media tumbuh berupa jerami padi seperti di atas, maka tidak mengherankan kalau mendapat rekomendasi sebagai bahan pangan yang layak dikonsumsi oleh manusia, mulai dari usia Balita sampai lanjut usia. Apalagi kandungan proteinnya yang dapat dicerna cukup tinggi, yaitu 76-80%, sementara lemaknya sangat rendah.

Karenanya, jamur ini cocok untuk orang yang sedang diet (berpantang makan). Sebab setelah dicerna, anasir aroma Jamur Shimeiji atau Jamur Tiram Putih memacu sekresi enzim pencernaan (asam glutamat). Dengan demikian, jamur ini sangat membantu mempermudah pencernaan makanan lainnya.

Mungkin karena kelebihan-kelebihan itulah yang menyebabkan Jamur Shimeiji, baik basah, kering maupun beku (kalengan), harganya lebih mahal dibanding jenis jamur lainnya.

Oleh sebab itu, usaha budidaya Jamur Shimeiji alias Jamur Tiram Putih sangat dianjurkan oleh banyak pakar. Di samping untuk tujuan seperti di atas, petani yang membudidayakan jamur ini juga akan lebih sejahtera hidupnya, mengingat harganya cukup mahal dan sangat disenangi konsumen dalam mau pun luar negeri.

IMG_0226ed

Petani adalah pengelola bumi dan produsen pangan. Karena itu, tidak selayaknya petani hidup dalam kungkungan kemiskinan dan ketidakberdayaan. Mereka layak mendapatkan harkat dan martabatnya, setara, bahkan di atas penggelut profesi lainnya. Dengan demikian, mereka akan benar-benar bisa merasakan kesejahteraan hidup dari jerih payahnya menghasilkan pangan bagi seluruh ummat manusia yang hidup di atas bumi ini. Gerakan untuk mengembalikan harkat dan martabat petani, harus menjadi gerakan global dan dilaksanakan secara terus menerus tanpa henti.

Indonesia telah mengembangkan sistem akreditasi dan sertifikasi pangan organik yang secara umum untuk menjamin produk pangan organik di Indonesia, dan secara khusus untuk memperoleh pengakuan sertifikasi pangan organik oleh negara lain.

Berdasarkan kerjasama antara Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Ministry of Agriculture, Fisheries dan Forestry (MAFF) Jepang, lembaga sertifikasi produk Indonesia yaitu PT. Mutu Agung Lestari telah ditetapkan oleh MAFF Jepang sebagai ROCB untuk produk plywood. Ini berarti sertifikat produk plywood Indonesia yang diterbitkan oleh PT. Mutu Agung Lestari diakui dan diterima oleh MAFF Jepang sebagai regulator.

Selaras dengan pendekatan tersebut, Pemerintah Indonesia bermaksud untuk mendapatkan pengakuan sistem akreditasi dan sertfifikasi pangan organik yang berlaku di Indonesia oleh Pemerintah Jepang. Sebagaimana diketahui peraturan di Jepang mensyaratkan semua produk makanan yang masuk ke Jepang wajib diberi label yang dibubuhkan berdasarkan lisensi lembaga sertifikasi yang diregistrasi MAFF Jepang. Pelabelan ini diatur dalam Japanese Agricultural Standard (JAS) Law No. 175 tahun 1950 – The Law Concerning Standardization and Proper Labelling of Agricultural and Forestry Product (revisi per 1 Maret 2006, tertera dalam article 19-8 hingga 19-10), yaitu ketentuan yang mengatur tentang pelabelan produk pertanian dan kehutanan. Aturan lain yang berkaitan dengan standardisasi produk pertanian dan kehutanan adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah (No. 291 tahun 1951) dan yang dikeluarkan oleh MAFF Jepang (No. 62 tahun 1950).

Untuk mencapai maksud tersebut, Indonesia perlu mempunyai lembaga sertifikasi yang diregistrasi oleh pemerintah Jepang sebagai Registered Overseas Certifying Bodies (ROCB) yang dapat memberikan jaminan mutu pangan organik yang akan dipasarkan ke Jepang. Pelaksanaan pembentukan ROCB harus dilakukan secara komprehensif oleh berbagai pihak yang terkait di Indonesia dalam ruang lingkup perdagangan pangan organik ke Jepang.

Pada saat ini Indonesia telah ada 7 (tujuh) lembaga sertifikasi pangan organik (LSPO), yaitu: PT. Sucofindo Services; PT. Mutu Agung Lestari; Biocert; Inofice; Lesos; Persada; dan LSPO Sumbar. Namun mengingat untuk mendapatkan pengakuan sebagai ROCB untuk pangan organik perlu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh MAFF, BSN mengadakan kunjungan kerja ke Jepang untuk menjajagi kemungkinan adanya MOU dengan pihak pemerintah Jepang, dalam hal ini dengan MAFF Jepang untuk adanya pengakuan sertifikasi pangan organik Indonesia.

Tujuan

Melakukan studi banding untuk mencari informasi tentang penerapan standar dan label pangan organik di Jepang, meliputi :

1. Peraturan tentang pangan organik,

2. Standar pangan organik,

3. Sertifikasi pangan organik,

4. Kemungkinan pengakuan (penerimaan) sertifikat yang dikeluarkan oleh Indonesia (apa persyaratannya dan apakah memerlukan MOU?)

Jadwal Pelaksanaan dan Agenda Kunjungan

1. Tanggal 10 November 208, melakukan persiapan dan kordinasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia Tokyo, Jepang;

2. Tanggal 11 November 2008, melakukan kunjungan ke Ministry of Agriculture, Foresty and Fisheries of Japan (MAFF), di Tokyo.

Delegasi yang hadir

Pembahasan standar produk organik dengan pejabat MAFF Jepang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Zaenal Bachruddin, M.Sc., Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, selaku Ketua Otoritas Kompeten Pangan Organik/OKPO. Sebagai anggota terdiri atas 2 (dua) orang wakil dari BSN, Drs. Suprapto, MPS, Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar, dan Utomo, ST, Kepala Sub. Bidang Prasarana Penerapan Standar, serta 1 (satu) orang wakil dari Kedutaaan Besar Republik Indonesia di Jepang, Drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Atase Pertanian.

Pelaksanaan Kerja Delri

Persiapan dan Koordinasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo, Jepang

Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 10 November 2008 di ruang kerja Atase Pertanian, KBRI Tokyo, Jepang. Pertemuan ini dihadiri oleh Sdr. Tulus Budhianto, Atase Perdagangan; Sdr. Achmad Sigit Dwiwahjono, Atase Perindustrian; Drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Atase Pertanian; serta tim kunjungan kerja.

Pada awal pertemuan, tim menjelaskan maksud kunjungan ke MAFF Jepang, yang bertujuan untuk menjajagi kemungkinan ekspor produk pangan organik Indonesia, dengan sertifikat pangan organik yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi pangan organik di Indonesia.

Dalam pertemuan diperoleh informasi bahwa produk pangan organik di Jepang mempunyai nilai jual yang lebih baik, dengan demikian produk pangan organik mempunnyai nilai tambah yang prospektif. Selain produk pangan organik, dibahas pula produk lain yang mempunyai potensi untuk dipasarkan ke Jepang antara lain produk pisang, nanas, pepaya, mangga serta produk lainnya. Dalam pertemuan dibahas pula kendala yang dihadapi untuk ekspor ke Jepang seperti pisang masih ada bintik-bintiknya, ukuran belum seragam, dan pasokan tidak bisa berkelanjutan (sustainable).

Pembahasan Standar Produk Organik dengan Pejabat Ministry of Agriculture, Foresty and Fisheries of Japan (MAFF)

Pembahasan Standar Produk Organik dilakukan pada tanggal 11 November 2008, dan tim kunjungan kerja diterima oleh pejabat MAFF Jepang Mr. Masato Shimazaki, Associate Director Labelling and Standard Division Food Safety and Consumer Affairs Bureau, yang didampingi oleh Ms. Norie Kato, Section Chief Labelling and Standard Division Food Safety and Consumer Affairs Bureau.

Pada awal pertemuan Mr. Masato Shimazaki, menjelaskan JAS Law No. 175 Tahun 1950 tentang standardisasi dan label yang sesuai untuk produk pertanian dan kehutanan. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan terdapat empat label atau tanda (mark) sistem standardisasi yang dikembangkan oleh Japanes Agriculture Standard (JAS), yaitu:

1. Label yang digunakan untuk produk makanan olahan (kiri atas);

2. Label yang digunakan untuk produk ayam kampung (kanan atas);

3. Label yang digunakan untuk produk pangan organik (kiri bawah);

4. Label yang digunakan untuk produk sapi gila (kanan bawah).

Untuk produk pertanian dan kehutanan, di Jepang berlaku standar JAS (Japanese Agricultural Standard). Penetapan standar JAS diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, membuat proses produksi lebih efisien, memberikan kontribusi terhadap transaksi yang sederhana dan adil, serta memfasiltasi konsumen dalam memilih secara rasional.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Jepang masih mengimpor produk pangan organik dengan persyaratan antara lain harus membubuhkan tanda/label organik berdasarkan lisensi yang diberikan oleh lembaga sertifikasi pangan organik terregistrasi oleh MAFF. Ini berarti masih terbuka kemungkinan ekspor pangan organik dari Indonesia ke Jepang.

Kriteria registrasi lembaga sertifikasi pangan organik untuk dalam negeri Jepang adalah ISO/IEC Guide 65 dan kriteria lainnya yang ditetapkan MAFF. Untuk dapat menjadi Registered Overseas Certifying Bodies (ROCB) selain memenuhi ISO/IEC Guide 65, negara di tempat lembaga sertifikasi pangan organik berada harus mempunyai sistem nasional yang ekuivalen dengan sistem JAS. Jadi lembaga sertifikasi pangan organik Indonesia yang diakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) mempunyai peluang yang sangat besar untuk menjadi ROCB karena sistem akreditasi dan sertifikasi di Indonesia untuk pangan organik berdasarkan ISO/IEC Guide 65 dan telah memenuhi persyaratan internasional.

Terdapat 2 cara untuk dapat diakui sebagai ROCB: (1) Lembaga Sertifikasi Pangan Organik (LSPO) dapat langsung mengajukan aplikasi ke MAFF; atau (2) melalui ekuivalensi sistem nasional Indonesia dengan sistem JAS. Jika pendekatan ini dapat dicapai, maka produk pangan organik Indonesia yang menggunakan logo pangan organik jika diekspor ke Jepang, oleh importir Jepang langsung dibubuhi stiker label pangan organik JAS. Ini berarti MAFF mengakui sertifikat penilaian kesesuaian (conformity assessment) yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi pangan organik di Indonesia yang diakreditasi oleh KAN.

Terkait dengan prosedur permohonan menjadi ROCB, LSPO Indonesia mengajukan aplikasi dan memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh MAFF. Semua dokumen, baik melalui aplikasi langsung maupun melalui ekuivalensi sistem nasional harus dalam bahasa Jepang. Dalam kaitan ini MAFF belum melihat perlu adanya MOU (Memorandum of Understanding). MAFF memberi informasi bahwa tidak tersedia bantuan teknis untuk pembentukan ROCB di Indonesia untuk pangan organik. MAFF hanya bisa menjelaskan persyaratan atau hal-hal yang diperlukan oleh pihak Indonesia tetapi tidak dapat membantu bagaimana harus menyiapkan atau membentuk lembaga sertifikasi pangan organik.

Kesimpulan

MAFF dapat memberikan konfirmasi bahwa lembaga sertifikasi pangan organik (LSPO) Indonesia yang diakreditasi KAN berdasarkan ISO/IEC Guide 65, terbuka kemungkinan adanya pengakuan sebagai ROCB. LSPO dapat mengajukan aplikasi langsung secara individu atau melalui ekuivalensi sistem akreditasi dan sertifikasi Indonesia dengan sistem JAS.

Langkah tindak lanjut yang diperlukan

1. Kerjasama antara Departemen Pertanian selaku Otoritas Kompeten Pangan Organik dengan BSN, KAN dan instansi terkait perlu lebih diintesifkan.

2. BSN perlu memberikan insentif kepada LSPO berupa pelatihan untuk pendalaman persyaratan MAFF terkait dengan pengakuan LSPO Indonesia sebagai ROCB.

3. BSN perlu menyiapkan segala dokumen dalam bahasa Jepang untuk persiapan ekuivalensi/kesetaraan sistem akreditasi dan sertifikasi nasional dengan sistem JAS.

4. BSN tetap memelihara komunikasi dengan MAFF baik langsung maupun melalui KBRI Tokyo untuk persiapan permohonan LSPO Indonesia menjadi ROCB.

5. KAN harus segera melakukan survailen dan memantapkan pemenuhan 7 LSPO yang telah diverifikasi oleh OKPO dan telah diserahkan pengelolaan akreditasinya kepada KAN.



Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!