UPAYA WUJUDKAN KESEJAHTERAAN DAN KEMANDIRIAN PETANI
Oleh : Ny. Nur Sukmawati
PELUANG DAN TANTANGAN
Tantangan bangsa Indonesia di masa datang semakin berat. Memang aspek pembangunan sebenarnya tidak hanya bertumpu pada bidang pertanian saja, sebab yang sedang dibangun adalah bangsa dan negara. Tetapi karena sebagian besar bangsa Indonesia hidup dan bersentuhan dengan pertanian, maka pertanian menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.
Sektor pertanian sebagai bagian dari perekonomian nasional, sebenarnya masih memiliki kemampuan sebagai kekuatan sentral atau soko guru. Sebab selain berperan sebagai penyedia bahan pangan dan sandang bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sektor pertanian sekaligus juga berperan sebagai pendukung sektor lain – terutama dalam menyediakan bahan baku bagi sektor industri – dan sebagai penghasil devisa bagi negara. Namun dengan mengglobalnya iklim perdagangan bebas dan kemajuan di bidang teknologi dan informasi, sektor pertanian bukan saja mendapat peluang untuk berkembang lebih cepat, melainkan juga mendapat tantangan-tantangan baru yang sangat berat.
Gejolak perdagangan bebas yang terus berkembang, telah melibatkan ekonomi Indonesia pada perdagangan global yang lebih kompetitif, liberal dan kapitalistik. Sektor pertanian sebagai sektor yang diharapkan dapat tetap mencapai pertumbuhan dan sekaligus pemerataan, tidak terlepas dari keharusan untuk meningkatkan daya saing. Sebab sektor pertanian yang selama ini selalu dalam proteksi non-tarif, akhirnya dimasukkan dalam disiplin GATT (General Agreement on Trade and Tariffs) dan juga sudah dimasukkan dalam skema Common Effective Preferential Tariffs (CEPT) milik AFTA (Asean Free Trade Area).
Menghadapi kenyataan ini, seluruh komponen bangsa harus tanggap, responsif dan antisipatif terhadap perkembangan yang terjadi, termasuk bagaimana mewujudkan pertanian Indonesia yang berhasil, modern dan mandiri. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa sektor pertanian masih selalu dihadapkan pada berbagai simpul kritis seperti pemasaran, pengembangan mutu, pengembangan investasi, pengembangan usaha dan kelembagaan yang mandiri serta independen.
Karena itu perlu adanya upaya peningkatan peranserta petani dan keikutsertaan seluruh komponen dalam nuansa kemitraan yang saling menguntungkan dengan menciptakan iklim yang kondusif dalam berbagai kebijakan, keterpaduan dan koordinasi antar sub sektor dan antar sektor dari mulai perencanaan hingga operasionalisasi pelaksanaannya. Dengan kata lain, harus benar-benar dilakukan reevolusi terhadap segala yang ada kaitannya dengan dunia pertanian. Dan upaya ini harus terus dilakukan secara berkesinambungan dan konsepsional agar memberikan hasil yang maksimal seperti yang diharapkan.
Konsep pembangunan yang lebih mengedepankan fisik dan materi semata, ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan semula. Konsep tersebut harus diubah atau ditinggalkan sama sekali. Yang harus didahulukan adalah kesejahteraan dan keadilan. Baru dari situ menuju ke arah pertumbuhan. Sudah saatnya Indonesia mengembangkan konsep pembangunan growth with equity atau pertumbuhan dengan basis atau landasan keadilan.
Untuk memanfaatkan peluang yang muncul dari dampak perubahan lingkungan strategis, maka kegiatan pertanian, sekecil apapun, harus mulai dipandang sebagai kegiatan industrial yang dilaksanakan atas dasar keterpaduan dalam suatu sistem, berorientasi pasar, memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal, dikelola secara profesional, didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan (ramah) lingkungan dan dikoordinasikan oleh kelembagaan yang kokoh, mandiri serta independen.
PERAN PERTANIAN
Pertanian seharusnya merupakan bidang usaha yang layak dibanggakan para penggelutnya, yaitu para petani. Sebab di samping bisa memberikan penghasilan yang terbilang besar, juga mampu memenuhi kebutuhan pangan dan sandang bagi mereka yang tidak bergelut di bidang pertanian. Karena itu, seharusnya sektor ini dapat menyerap angkatan kerja. Paling tidak akan menjadi salah satu pilihan generasi muda yang kebetulan belum tertampung di bidang pekerjaan lainnya. Bukan sebaliknya, menjadi bidang yang paling disingkiri generasi muda.
Tetapi karena pemilikan lahan yang rata-rata sempit, bahkan banyak petani yang tidak memiliki lahan, dan tata laksana usaha yang masih sangat konvensional serta termasuk jenis usaha yang HEIA (High External Input Agriculture) atau ketergantungan pada masukan dari luar yang sangat tinggi, maka sektor pertanian hingga kini masih dituding sebagai penyebab kemiskinan terbesar di Indonesia. Sebab petani Indonesia masih lebih lekat dengan sebutan ’gurem’ daripada sebagai penyedia atau produsen pangan.
Sistem pertanian konvensional yang terlalu terfokus pada komoditas tunggal, orientasi pada kebijakan para birokrat, eksploitasi unsur hara dan mengabaikan dampak lingkungan, lahan tadah hujan dan sumberdaya setempat yang diabaikan, penyebaran produk yang tidak sempurna, eksploitasi tenaga kerja pria dan mengabaikan pengetahuan lokal petani, merupakan rangkaian penyebab keterpurukan pertanian Indonesia. Belum lagi kalau mencermati kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak berpihak pada petani atau masih menempatkan petani pada posisi yang membingungkan, maka makin lengkap penderitaan petani Indonesia.
Sementara itu, sudah terlalu lama petani menjadi objek perahan birokrat, pengusaha, pedagang dan konsumen, serta usaha yang mereka geluti lebih bersifat sosial daripada menjadi sumber kesejahteraan. Oleh karena itu, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberdayakan petani dalam sebuah lembaga yang kokoh, mandiri dan independen sehingga mereka mampu mengartikulasikan pandangan dan kepentingan mereka tanpa harus tergantung pihak lain.
Selama ini petani sebagai pelaku utama sektor pertanian selalu menjadi objek mainan kebijakan pemerintah, pedagang, oknum pemerintah yang berjualan cap maupun oleh sementara kalangan politisi. Produksi yang dihasilkanpun nilainya lebih bersifat sosial, tanpa penghargaan yang layak dan berapresiasi.
Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa pembangunan sektor pertanian masih dilakukan secara partial. Hal ini terlihat dari banyaknya departemen atau instansi yang terlibat dalam sektor pertanian. Padahal departemen atau instansi itu umumnya berpenyakit ego sectoral. Kalau tujuan pembangunan ingin meningkatkan kesejahteraan, taraf hidup dan berkeadilan, maka sistem dan penyakit semacam itu harus dihilangkan dulu. Biarkan petani tumbuh kembang dengan kemampuannya sendiri tanpa intervensi siapapun. Kalaupun ada yang ingin melibatkan diri, tidak lebih hanya berperan sebagai pembuka wawasan dan apresiasi. Sebagai motivator dan dinamisator atau sebagai fasilitator. Tidak lebih.
Konsolidasi sektor pertanian selain didasarkan atas perkembangan situasi global strategis, aspek permintaan dan teknologi, juga mengacu pada kemampuan sumberdaya yang ada atau tersedia. Dengan pola usaha pertanian di Indonesia yang mayoritas masih merupakan unit usaha sangat kecil dan dilaksanakan secara konvensional dengan sistem HEIA (High External Input Agriculture), sulit rasanya mendongkrak keterpurukan sektor pertanian Indonesia kalau hanya mengandalkan kebijakan pemerintah pusat seperti yang selama ini berlangsung.
Sekecil apapun, harus ada terobosan baru yang akan lebih merangsang para petani untuk meningkatkan usahanya. Bukan dengan sistem kredit atau subsidi, tetapi dengan pendidikan, pelatihan, pendampingan dan kemitraan. Selain itu, pola atau sistem pertanian Indonesia yang konvensional dan bersifat HEIA harus diubah dengan konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, ramah lingkungan dan mandiri, atau yang dikenal sebagai konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture).
WAJAH PERTANIAN INDONESIA
Mitos bahwa Indonesia merupakan negara agraris seharusnya sudah dihapus. Sebab output maupun nilai ekspor komoditi hasil pertanian Indonesia masih sangat rendah. Bahkan lebih rendah dari negara yang selama ini tidak pernah disebut sebagai negara agraris. Perkembangan teori competitive advantage meninggalkan teori comparative advantage justru akan semakin membuat Indonesia tertinggal jauh dari sesama negara Asean yang paling lemah sekalipun. Kalau ingin tetap mempertahankan julukan negara agraris dan tidak ingin tertinggal dari negara lain, Indonesia perlu mengadakan reevolusi dan transformasi total dan besar-besaran. Terutama mengubah mentalitas budaya dan meningkatkan kualitas intelektual sumberdaya manusia yang terlibat di sektor pertanian.
Kemerosotan utama sektor pertanian Indonesia disebabkan oleh bias dikotomi urban-rural, di mana urban lebih indentik dengan modern, titel kesarjaan, intelektualitas, industrialisasi, mekanisasi, otomatisasi dan robotisasi yang bersifat eksklusif. Sementara rural dianggap primitif, tradisional dan kurang rasional, karena itu cukup diberi injeksi secukupnya, sekadar untuk survive, dengan pendekatan basic needs saja. Subsidi yang diberikan hanya berupa sarana produksi pertanian seperti irigasi, pupuk kimia, pestisida dan program seperti Bimas, Inmas dan Inpres. Petani tidak diberi dan tidak memperoleh nilai tukar, terms of trade yang layak sehingga mereka mempunyai daya beli dan pendapatan tinggi yang merangsang produksi pertanian berlimpah dan mengalami surplus.
Di Indonesia, petani dipelihara secara subsistens dan harga beras dimantapkan untuk melindungi konsumen perkotaan dalam rangka tenaga kerja murah. Pilihan proteksi yang pernah dilakukan Indonesia terhadap produk pertanian, ternyata hanya memanjakan petani tanpa mampu menghasilkan prestasi seperti yang dicapai petani-petani Thailand.
Dalam konteks Indonesia masa datang, pembangunan sektor pertanian memerlukan pendekatan keterkaitan terpadu yang tidak memilah dan memisahkan sektor pertanian dengan sektor lainnya. Sebab jika selalu dipertentangkan, maka akan sulit sekali menciptakan suatu sektor pertanian yang tangguh. Keberhasilan industri pangan di USA maupun Eropa justru karena adanya simbiose yang erat antara petani dengan produsen dalam keterkaitan pemasok dan pemakai bahan baku secara saling menguntungkan tanpa hubungan antagonistis. Sektor pertanian memperoleh nilai tukar wajar dan layak sehingga tercipta simbiose mutualis.
Pendekatan untuk sektor pertanian masa datang harus mengalami perombakan drastis dari pola sinterklas, charity, belas kasihan, subsidi berupa derma dari orang kota kepada orang desa, menjadi suatu pola trade, not aid. Memberikan daya beli pada para petani. Menciptakan ekonomi modern rasional di desa, menghentikan cara memperlakukan orang desa sebagai yatim piatu dan fakir miskin, tetapi membangkitkan harkat martabat petani dengan memberikan daya beli yang merupakan hak mereka. Investasi untuk mengubah pedesaan menjadi kekuatan dinamik, modern, produktif dan kreatif harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan sektor pertanian masa depan. Dan hal ini tidak mungkin dilakukan dengan cara paternalistik, birokratik dan arogansi elite urban yang umumnya mematikan kreativitas dan dinamika massa serta populasi rural.
Bila sektor ekonomi dimodernisir dan industrialisasi digalakkan, maka sektor pertanian harus diletakkan dalam posisi sederajat dan dihormati oleh sektor modern, sehingga para petani juga akan mampu memodernisasi diri serta terintegrasi dengan seluruh sektor ekonomi modern yang sudah lebih dulu diindustrikan, dimekanisasikan dan direkayasa lewat proses high tech.
Dalam sistem ekonomi pasar, iklim segar yang merangsang masyarakat untuk berprestasi harus dijamin agar kekuatan kreatif dapat berkembang secara maksimal. Paling tidak imbalannya harus memadai agar para ilmuwan rela masuk kubangan lumpur, bergulat dengan tumbuhan, tanaman, sayuran, buah-buahan dan dedaunan yang harus diriset, disilangkan dan atau direkayasa. Bila perlu dengan ilmu biogenetika yang canggih untuk menghasilkan spesies baru, unggulan dan laris seperti hasil riset para petani dan ilmuwan pertanian Thailand.
Sistem ekonomi yang kurang memberi imbalan layak pada peneliti dan pakar untuk berkiprah di sektor pertanian, tentu saja membuat pertanian hanya diidentikkan dengan petani kumuh yang sekadar patut dikasihani dan disedekahi dengan program Inmas, Bimas dan Inpres. Karena itu program yang bersifat sedekah ini harus segera dirombak total, diganti dengan program realokasi sumber dana dan transfer daya beli ke sektor pertanian secara fair sehingga seluruh sektor akan mengalami periode dan kondisi kemitraan yang sehat di mana sektor pertanian siap berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dalam relasi businesslike yang lugas, saling menguntungkan dan saling menghargai.
Program proteksi floor price yang diberlakukan pada cengkeh dulu misalnya, hanya tampak muluk dalam ide tapi di lapangan justru pedagang yang menikmati nilai tambah dari program tersebut dengan memungut rente ekonomi. Pola proteksi seperti itu harus dihindari sebab tidak akan mencapai tujuan mulia, mengalihkan daya beli riil kepada yang berhak dan membutuhkan, yaitu petani.
Pendekatan dengan pola subsidi karitatif harus secepatnya diganti dengan pendekatan hak dan terms of trade yang fair. Sebab dengan terms of trade yang timpang seperti sekarang, di mana sektor pertanian berada pada posisi pasrah, didikte, dan daya beli yang dipaksakan oleh sektor urban/modern demi proses industrialisasi, melahirkan dikotomi kota – desa serta gap pendapatan yang sangat besar antara para petani dengan pekerja sektor urban.
Tragedi dan ironi sejarah telah membuktikan bahwa suatu rezim totaliter yang tidak mengabdi pada masyarakat secara konkret di lapangan, dengan mekanisme alokasi sumberdaya dan pemberian kesempatan yang fair kepada semua pihak untuk berprestasi, pasti akan mengalami kegagalan.
Berangkat dari kondisi dan kenyataan itulah maka tulisan ini disusun dengan harapan bisa menjadi bahan acuan atau pertimbangan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian di Indonesia agar kesejahteraan petani benar-benar bisa terwujud seperti yang didambakan selama ini.
KONSEP PERTANIAN TERPADU
a. Pengertian dan Ruang Lingkup
Secara umum, ruang garap konsep pertanian terpadu melingkupi persiapan, pengadaan dan penyaluran sampai pada kegiatan distribusi dan pemasaran produk, baik primer maupun olahan. Dengan demikian konsep pertanian terpadu dalam pengertian umum merupakan suatu sistem yang terdiridari : (1) subsistem persiapan, pengadaan dan penyaluran, teknologi dan pengembangan sumberdaya pertanian; (2) subsistem produksi pertanian atau usahatani; (3) subsistem pengolahan hasil-hasil pertanian; (4) subsistem distribusi dan pemasaran hasil pertanian.
Karena konsep ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir, maka keberhasilan pengembangannya sangat tergantung pada keseimbangan pengembangan dan pertumbuhan yang dicapai pada setiap simpul yang menjadi subsistemnya. Kata kunci yang dapat menjamin konsep ini berkembang baik adalah keterpaduan dalam pengembangan aktivitas di setiap subsistem dan keterkaitan yang intens antar subsistem.
Lingkup utama dalam penerapan konsep ini penekanannya pada keterpaduan perencanaan subsistem yang satu dengan subsistem lainnya. Karena itu koordinasi dalam perencanaan, pembinaan dan pengembangan mutlak diperlukan.
b. Pembangunan Wilayah Pedesaan dan Permasalahannya
Bila ditelaah bagaimana sebenarnya difusi inovasi ke daerah pedesaan, seperti teknik-teknik baru, ide-ide baru dan rekayasa kelembagaan baru atau institutional building, sebenarnya lebih banyak tergantung pada faktor-faktor internal di pedesaan. Inovasi difusi pada dasarnya didorong oleh saluran komunikasi atau struktur sosial seperti fasilitas transportasi, sistem nilai-nilai, kelembagaan, wiraswasta, rumah tangga dan sebagainya. Persoalannya, seberapa cepat inovasi difusi itu berlangsung, sistem yang bagaimana dapat mendorongnya, pesan-pesan prioritas dan wawasan apa yang terutama akan ditransmisikan serta dengan cara apa hal tersebut dapat diimplementasikan secara efisien.
Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pedesaan selama ini umumnya menunjukkan bahwa inti esensial dari proses pembangunan pedesaan adalah transformasi struktural masyarakat pedesaan dari kondisi pedesaan agraris tradisional mencoba menjadi pedesaan berbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan bersistem agribisnis. Sementara yang menjadi inti dari struktur ekonomi pedesaan adalah yang terkait dengan sistem industri, sistem perdagangan dan sistem jasa nasional maupun global. Karena itulah yang menjadi inti keterpaduan.
1) Wawasan Agro-ekosistem. Upaya untuk meletakkan kerangka landasan pembangunan pertanian selama Orde Baru pada dasarnya memprioritaskan pada wawasan produksi dan pelestarian swasembada padi dan sama sekali mengabaikan wawasan keterpaduan dan keterkaitan. Apalagi wawasan lingkungan. Padahal wawasan lingkungan sangat penting dalam memberikan arah agar setiap kegiatan di bidang pertanian selalu memperhatikan kondisi dan potensi sumberdaya alam dan lingkungannya, baik fisik maupun non fisik. Hal ini bertujuan agar kelestarian sumberdaya alam dan kualitas hidup seluruh makhluk lebih terjamin untuk menunjang upaya pembangunan yang berkelanjutan. Ketika issue globalisasi makin kencang dihembuskan oleh negara-negara kapitalis, dan munculnya kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah, barulah terlihat kenyataan bahwa perlu menata kembali landasan sistem pengelolaan sumberdaya pertanian. Namun penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yang berwawasan ekosistem. Walaupun wawasan Agro-ekosistem merupakan suatu pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi ciri-ciri spesifik terpenting menyangkut empat sifat pokok, yaitu kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity). Secara sederhana bisa dikatakan, kemerataan merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan di antara masyarakatnya. Keberlanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya walau pun mendapat gangguan. Kestabilan merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Produktivitas adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya.
2) Wawasan Wilayah/Regional. Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, seharusnya pembangunan wilayah mempunyai sentuhan-sentuhan khusus untuk lebih memperhatikan aspek-aspek sumberdaya dasar (initial resource endowment resources) serta aspek-aspek lingkungan hidup. Dengan demikian konsepsi ini sangat berkaitan dengan aspek-aspek yang menyangkut pengelolaan sumberdaya secara optimal, dalam arti menyangkut persoalan kualifikasi dampak (impact multiplier) – terutama menyangkut apa (siapa) yang harus menanggung beban dan apa (siapa) yang memperoleh manfaat. Dampak-dampak yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya pemanfaatan sumberdaya wilayah tersebut pada dasarnya dapat bersifat direct, indirect maupun induced. Namun dalam sistem ekonomi pasar yang dianut pemerintah Orde Baru, yang semata-mata hanya mengandalkan pada manfaat individu (private) tanpa mempertimbangkan aspek-aspek spasial (wilayah/regional), jelas mengabaikan persoalan kualifikasi dampak yang mungkin dapat terjadi sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya. Kualifikasi dampak tersebut menyangkut tentang seberapa besar manfaat peningkatan hasil pembangunan sumberdaya wilayah tersebut akan mampu ditangkap oleh masyarakat wilayah yang bersangkutan secara lestari (dalam bentuk pendapatan maupun ketenagakerjaan). Bila wilayah tidak mampu menangkap dampak tersebut, sangat dikhawatirkan bahwa pembangunan sumberdaya semacam itu hanyalah akan lebih merupakan eksploitasi sumberdaya wilayah. Inilah awal timbulnya kebocoran (regional leakages) manfaat wilayah yang biasanya akan diikuti oleh mengalirnya sumberdaya produktif ke luar wilayah yang bersangkutan. Salah satu contoh adalah pembangunan pada subsektor pertanian tanaman pangan, di mana aspek lahan merupakan komponen utama yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh faktor produksi lainnya. Berdasarkan kualifikasi dampaknya, pembangunan sumberdaya lahan untuk peningkatan produksi pangan, terutama dilakukan pada lahan-lahan sawah beririgasi, mempunyai peran yang sangat besar pada pembangunan wilayah. Kegiatan tersebut dapat dipandang sebagai pendorong dalam demand side development strategis bagi wilayah yang bersangkutan. Strategi peningkatan produktivitas pangan akan meningkatkan produksi agregat pangan sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani wilayah bersangkutan. Peningkatan pendapatan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan permintaan barang dan jasa sehingga menarik investasi ke dalam wilayah itu. Kecenderungan terjadinya pergeseran (konversi) lahan pertanian produktif (sawah) ke peruntukan di luar pertanian akhir-akhir ini sebenarnya dapat ditafsirkan sebagai tindakan disinvestment karena terkandung kerugian sosial yang sangat besar. Membiarkan kesalahan alokasi (misallocation) sumberdaya pertanian dalam sistem pasaran bersaing bebas bukan hanya akan mengancam ketersediaan pangan dengan segala konsekuensi dan risikonya, tetapi juga memutus keterkaitan ke muka dan ke belakang dengan kegiatan ekonomi lain yang komplementer, serta memberikan dampak kerugian sosial yang besar pula. Bila pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pertanian hanya diserahkan pada mekanisme pasar berdasarkan land rent yang maksimal, yang hanya dilandasi oleh pertimbangan besarnya location rent semata-mata, maka areal sawah semakin lama semakin menyusut.
3) Teknologi. Keberhasilan pengembangan komoditas pertanian unggulan tidak dapat dilepaskan dari kemampuan dalam penguasaan dan pengembangan teknologi. Kondisi pertanian dan pedesaan yang bervariasi antar wilayah jelas menuntut pemilihan dan perakitan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan setempat. Dalam kaitan ini, perakitan teknologi senantiasa diupayakan bersifat tepatguna, dalam pengertian bahwa paket teknologi harus mampu meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, peningkatan produksi, mutu dan hasil serta meningkatkan nilai tambah. Untuk itu penerapan teknologi harus disesuaikan dengan agro-ekosistem setempat. Perakitan teknologi yang spesifik lokasi dilakukan dengan pendekatan sistem usahatani. Kondisi pertanian dan pedesaan di Indonesia cenderung masih bersifat subsisten, tradisional dan berskala kecil. Karenanya teknologi tepat guna yang diterapkan harus berciri skala kecil, mempunyai daya serap tenaga kerja besar dan memerlukan investasi yang relatif kecil. Macam teknologi akan memberikan pengaruh terhadap proses produksi, apakah akan meningkatkan produktifitas, menghemat/menurunkan faktor produksi, meningkatkan kualitas hasil, nilai tambah, membuka peluang pasar baru dan rekayasa sosial berupa perangkat lunak sebagai penggerak kegiatan berproduksi serta penerapan teknologi seperti pengorganisasian, kelembagaan dan pengelolaan. Untuk merumuskan langkah-langkah operasional alih teknologi, perlu pemahaman siapa pengguna teknologi. Dengan begitu penyediaan teknologi harus memperhatikan bukan hanya keragaman agro-ekosistem, tetapi juga keragaman karakteristik pengguna, kelayakan teknis dan kelayakan sosial-ekonomi
4) Pengembangan Agroindustri. Dilihat dari aspek diversifikasi secara vertikal, pengembangan komoditas mencakup pula aspek agroindustrinya. Kegiatan ini mengolah komoditas pertanian sebagai bahan baku menjadi bahan olahan jadi atau setengah jadi. Integrasi produksi komoditas pertanian dengan agroindustri diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah, memperluas kesempatan kerja, menganekaragamkan bahan makanan dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Dengan meningkatnya pendapatan, permintaan bahan makanan olahan makin meningkat pula. Hal ini terjadi baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
5) Iklim Finansial dan Perkreditan Pedesaan. Program pembangunan pertanian atau pedesaan di Indonesia umumnya disertai dengan program kredit, baik dalam bentuk insentif maupun modal kerja, atau subsidi untuk pengadaan faktor-faktor produksi usahatani. Akibatnya muncul sejumlah masalah yang harus ditanggung oleh negara. Masalah itu antara lain tingginya biaya dalam usaha distribusi kredit, kemampuan membayar kembali para petani yang sangat rendah sehingga jumlah tunggakan dari tahun ke tahun terus menumpuk, di samping sulitnya mengajak petani untuk menabung ke dalam sistem kredit. Tentang rendahnya kemampuan untuk membayar kembali kredit bisa jadi disebabkan oleh kurangnya penyuluhan mengenai penggunaan dan keharusan membayar kredit, atau karena produktifitas usahatani yang relatif rendah, tidak terjaminnya pasar sehingga harga produk pada musim panen raya relatif rendah, atau masalah lain yang menyangkut status sosial, kepentingan yang berbeda dan sebagainya. Oleh sebab itu, kalau program ini akan diteruskan, maka harus dilakukan secara hati-hati. Sebab pemberian kredit lunak (tingkat bunga rendah) seringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangka panjang.
6) Harga dan Tataniaga. Kebijaksanaan harga dan tataniaga produksi dan pemasaran juga merupakan penyebab perbedaan pendapatan di pedesaan. Tingginya marketing margin menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan dalam perolehan nilai tambah antar pelaku usahatani. Harga dan tataniaga menjadi masalah karena ketidaktegasan birokrat dalam mengawal aturan yang sudah mereka tetapkan sendiri, di samping ketidakmampuan lembaga tataniaga seperti koperasi dan Bulog dalam menjalankan fungsinya. Karena itu perlu adanya revolusi total terhadap lembaga tataniaga serta birokrat yang terkait dengan masalah pertanian.
7) Kelembagaan. Selama ini belum ada lembaga yang berkaitan dengan pertanian yang mampu mengkombinasikan secara optimal dalam pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha sesuai dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Karena itu tidak perlu dipaksakan semua kegiatan yang berkaitan dengan pertanian berada dalam cakupan unit kegiatan KUD. Dalam operasionalisasinya, konsep pengembangan pertanian terpadu yang berkelanjutan dan mandiri di tingkat lokalita, kawasan pedesaan yang sangat beragam baik agro-ekosistem, sarana, prasarana maupun sosial budayanga, perlu adanya perbaikan mulai dari aspek manajemen, sosial maupun teknologi. Dengan demikian baru dapat diwujudkan strategi pengembangan pedesaan terpadu yang andal dan spesifik lokalita (wilayah).
c. Pengelolaan Sumberdaya
Pengelolaan dan pengembangan sumberdaya, baik alam maupun manusia, dihadapkan pada kenyataan bahwa sumberdaya adalah suatu potensi yang dinamis. Selalu berbeda dan berubah menurut waktu, ruang, jumlah dan kualitas. Mengingat potensi dan kapasitas sumberdaya yang sangat bervariasi di antara wilayah dan pulau-pulau yang ada, maka pendekatan pengelolaan dan pengembangannya harus berorientasikan pada pemanfaatan (use-oriented) dan sekaligus resource-oriented. Artinya, tidak semata-mata didasarkan atas pertimbangan ekonomi melainkan juga memperhatikan kemampuan penyediaan sumberdaya itu sendiri secara kuantitas dan kualitas. Mengingat banyak sektor yang berkepentingan dengan sumberdaya tersebut, maka untuk mengoptimalkan pemanfaatannya perlu dilakukan secara terpadu, baik antar program dalam satu sektor maupun antar sektor yang terkait.
Bagi sektor pertanian, dasar pendekatan pengembangannya sudah jelas, yaitu melalui konsepsi pengembangan sistem yang terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri dalam rangka mewujudkan keberhasilan dan kesejahteraan petani, yang berarti juga ikut mengembangkan wilayah pedesaan di mana para petani tinggal. Apabila dikaitkan antara konsepsi pengelolaan dan pengembangan sumberdaya dengan konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri, maka akan tampak adanya benang merah yang tersimpul dalam beberapa hal, seperti :
1) Partisipasi Keluarga Petani. Usaha pertanian di Indonesia dicirikan oleh dominasi petani sebagai produsen utama, dengan pemilikan lahan yang relatif sempit dan mengusahakan aneka ragam komoditas, di samping kondisi lain yang pada umumnya kurang menguntungkan dalam persaingan pada sistem pasar bebas. Sasaran penerapan konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri pada akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan para petani. Arah pengembangan konsep yang memihak pada para petani ini menghendaki partisipasi aktif keluarga petani. Upaya meningkatkan efisiensi, mereka dituntut untuk bekerjasama, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya. Keterlibatan keluarga sudah harus dilakukan sejak perencanaan, membuat konstruksi sampai dalam operasional (budidaya, pemeliharaan, produksi) hingga pemasaran. Untuk itu peningkatan sumberdaya manusia (petani dan keluarganya) sangat diperlukan agar memiliki pengertian dan pemahaman dalam penerapan konsep sehingga dicapai efisiensi dan efektifitas.
2) Mengurangi Campurtangan Pemerintah.
3) Spesifik Sumberdaya dan Spesifik Tujuan. Penerapan konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri senantiasa didasarkan pada kondisi obyektif spesifik lokalita. Aspek spesifik lokalita ini juga berlaku bagi pengelolaan dan pengembangan sumberdaya. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa sumberdaya yang ada akan sangat mempengaruhi kebijaksanaan operasionalnya, baik dalam rangka meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatannya maupun kelestariannya.
d. Iklim Usaha yang Kondusif
Iklim kondusif untuk proses transformasi pembentukan barang dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan bangsa, yang diharapkan disumbangkan dari sektor pertanian, sangat diperlukan. Dan iklim ini terutama diharapkan dari perangkat kebijakan dan pengaturannya, termasuk di dalamnya adalah pembuat kebijakan atau peraturan itu. Sebab iklim usaha di bidang pertanian yang benar-benar kondusif akan memberikan kemudahan, dorongan, perlindungan, arah, takaran dan standard yang tepat agar dapat mewujudkan transformasi sektor pertanian dari subsisten konvensional menjadi terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan mandiri.
Pendalaman struktur pertanian menjadi sangat penting mengingat berbagai heterogenitas di dalamnya. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang tepat agar pembangunan pertanian dapat mengantarkan sektor pertanian pada kondisi yang tangguh, maju dan efisien. Persyaratan yang muncul adalah upaya-upaya pengelolaan sumberdaya yang lebih efisien dan optimal. Nuansa yang perlu dicermati dalam hal ini adalah keinginan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat (petani dan keluarganya), meningkatkan pengertian dan pemahaman petani terhadap kegiatan usaha yang digelutinya dengan memperhatikan aspek-aspek spesifikasi sumberdaya serta spesifikasi tujuan pemanfaatan sumberdaya. Semuanya akan tercapai manakala didukung oleh berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, sumberdaya manusia dan faktor pendukung lainnya. Sementara sistemnya disebut Sistem Pertanian Terpadu, Berkelanjutan, Berwawasan Lingkungan dan Mandiri.
Konsep pertanian terpadu, berkelanjutan, ramah lingkungan dan mandiri atau yang juga sering disebut dengan konsep LEISA, tidak hanya bisa diterapkan untuk usaha pertanian dalam skala besar (makro), tetapi juga bisa diaplikasikan pada unit usaha pertanian berskala sangat kecil (mikro) atau family farm.
Persoalannya, kesiapan sarana dan prasarana pemasaran produk pertanian masih sangat kurang. Dengan karakteristik produk yang mudah rusak, bulky dan sangat tergantung pada iklim serta musim, maka instabilitas harga merupakan ciri yang menonjol dari komoditas hasil pertanian. Implikasinya, dari bentuk bahan baku sulit sekali untuk meningkatkan nilai tambah dari produk-produk pertanian. Dan sebagai proses kelanjutan dari kondisi tersebut akan berimbas pula pada perolehan pendapatan petani sebagai produsen.
Mengingat karakteristik produk pertanian yang bersifat bulky dan mudah rusak (perishable), maka dalam pengembangannya perlu diupayakan agar dikaitkan dengan pola industri pengolahan dan penyimpanan hasil. Dengan demikian sekaligus akan menumbuhkan kegiatan off farm (diversifikasi usaha) yang akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat.
Berkembangnya perekonomian masyarakat pedesaan tersebut diharapkan akan merupakan sumber pertumbuhan baru. Untuk mewujudkan hal itulah konsep pertanian terpadu mutlak hadir. Sebab inti dari konsep pertanian terpadu adalah :
- Mengintegrasikan beberapa unit usaha di bidang pertanian
- Dikelola secara terpadu
- Berorientasi ekologis
- Peningkatan nilai ekonomi
- Efisiensi dan produktifitas tinggi
Sementara sumber-sumber yang diharapkan menjadi penopang pertumbuhan dan akan sangat mendukung pembangunan pertanian adalah :
- Yang berkaitan dengan peningkatan produksi dan produktifitas seperti diversifikasi, intensifikasi, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Yang berkaitan dengan nilai tambah seperti peningkatan jenis usaha yang bernilai tinggi, peningkatan jenis produk olahan, mutu dan cara mengemas.
- Yang berkaitan dengan pemenuhan permintaan konsumen yang selalu berubah dan ingin lebih baik seperti jenis komoditas baru dan jenis produk baru.
- Yang berkaitan dengan kelembagaan seperti penciptaan iklim usaha yang merangsang pertumbuhan ekonomi, investasi dan pembinaan hubungan yang saling menguntungkan antar subsistem yang ada.
Kaidah yang digunakan dalam penerapan sistem pertanian terpadu adalah relasi antara tanaman (plant), binatang (animal) dan manusia (man).
Tanaman, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan (juga kehutanan), tidak hanya menghasilkan pangan (food) sebagai produk utamanya, tetapi juga menghasilkan limbah yang oleh sistem pertanian ’’Revolusi Hijau’’ terabaikan. Padahal limbah-limbah tersebut, hanya dengan cara-cara sederhana dapat diubah menjadi pakan (feed) yang berkualitas bagi hewan ternak. Dan pakan tersebut oleh hewan ternak dapat ditransformasikan menjadi bahan pangan yang bermutu bagi manusia, seperti daging, susu, telur dan lain-lain.
Hewan ternak di samping menghasilkan produk utama berupa daging, susu, telur dan lain-lain, juga menghasilkan kotoran (feses) dan urine yang dalam sistem pertanian ’’Revolusi Hijau’’ juga diabaikan. Padahal limbah-limbah tersebut dengan cara sederhana dapat diubah menjadi kompos bermutu. Kompos dapat dimanfaatkan dalam proses produksi pertanian, sehingga seluruh komponen yang terkait menjadi lebih efisien dan tanpa meninggalkan limbah (zero waste).
Manusia sebagai pengkonsumsi produk tanaman dan hewan ternak, dengan akal, pikiran, tenaga dan keterampilannya, dapat menjadi media sehingga dicapai tingkat efisiensi tinggi dari komponen-komponen yang saling berkait tersebut. Dengan demikian, secara tidak langsung tanaman, binatang dan manusia bersinergis. Bukannya saling merusak hanya untuk kepentingan sesaat. Lebih-lebih kalau alasannya hanya sekadar untuk dapat naik pangkat dan hidup berlimpah harta.
Konsep pertanian terpadu juga sering disebut sebagai konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Konsep ini diharapkan menjadi arah baru bagi pertanian masa depan, di mana unsur atau komponen yang terlibat dapat menikmati hasil yang sepadan dan berkelanjutan. Sebab konsep LEISA pada dasarnya merangkum tindakan-tindakan :
- Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal
- Maksimalisasi daur ulang (zero waste)
- Minimalisasi kerusakan lingkungan (ramah lingkungan)
- Diversifikasi usaha
- Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang
- Menciptakan kemandirian
Untuk mendukung keberhasilan dalam penerapan konsep LEISA, diperlukan teknologi tepat guna yang dapat mengubah limbah pertanian menjadi sumberdaya (feed) dan pemanfaatannya, serta mengubah limbah peternakan menjadi sumberdaya (compost) dan pemanfaatannya baik untuk sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun untuk budidaya perikanan.
MEMADUKAN TERNAK PADA USAHA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Sub sektor peternakan sebagai bagian sektor pertanian dapat melakukan integrasi dengan sub sektor lain untuk meningkatkan produktivitas masing-masing sub sektor. Artinya, tiap-tiap komponen dapat saling menopang untuk saling mengisi dalam peningkatan produktivitas dengan memanfaatkan produk-produk sampingan usaha. Ternak yang diusahakan dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian tanaman pangan maupun hortikultura dan perkebunan, untuk saling mengisi sehingga masing-masing usaha dapat memberi hasil optimal.
Usaha ternak memiliki kendala berupa ketergantungan pada penyediaan sumber pakan ternak secara kontinyu (baik hijauan maupun konsentrat), terbatasnya lahan untuk pengembangan usaha, kesulitan pembuangan hasil samping usaha (limbah) berupa kotoran (feses dan urine), dan permasalahan sekitar usaha. Sedangkan usaha pertanian dan perkebunan menghadapi kendala berupa penyediaan sumber unsur hara untuk lahan (tanah yang tidak fertil), pertumbuhan tanaman yang kurang sehat akibat unsur hara yang berkurang, perawatan (maintenance) untuk pertumbuhan tanaman memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan permasalahan limbah yang semakin lama semakin menumpuk sehingga menjadi sarang hama dan penyakit. Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan melakukan integrasi antar sub sektor secara terpadu.
Kalau mengacu pada konsep LEISA, maka usaha ternak dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian dan perkebunan dengan cara :
- Hasil samping atau limbah pertanian dan perkebunan (jerami padi, kacang tanah, kedelai, pucuk tebu, terbon jagung, kulit buah kakao, dan lain-lain) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
- Kotoran ternak, sisa pakan dan hasil panen yang bukan pangan maupun pakan dapat didekomposisi menjadi kompos untuk penyediaan unsur hara lahan.
- Ternak (terutama ruminansia) dapat dilepas di perkebunan untuk memanfaatkan tanaman liar/gulma sebagai pakan dan sekaligus menghemat biaya penyiangan.
Upaya memadukan ternak dengan usaha pertanian dan perkebunan akan membawa dampak positif terhadap aspek budidaya, sosial dan ekonomi. Budidaya ternak akan semakin efisien karena ketersediaan pakan dapat dilakukan secara kontinyu. Problem sosial yang seringkali terjadi akibat limbah yang menimbulkan polusi (kotoran ternak, sisa panen, limbah perkebunan/pertanian) dapat diatasi dan membawa pengaruh yang baik. Secara ekonomi, petani/peternak dapat melakukan efisiensi usaha (tingkat pendapatan semakin meningkat). Akhirnya, kemandirian petani/peternak dalam berusaha dapat diwujudkan dan ketergantungan sarana produksi dari luar dapat ditekan atau dikurangi sebanyak mungkin.
Sementara meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu dan keamanan hasil pertanian serta tuntutan akan sistem jaminan mutu dari pasar hasil pertanian, yang didukung dan dijadwalkan oleh WTO dan organisasi-organisasi reference-nya, telah membawa dampak perubahan besar di dalam pola dan sistem pembinaan mutu hasil pertanian. Pola dan sistem yang berkembang dan mulai menjadi tuntutan dalam perdagangan hasil pertanian di antaranya adalah HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dan lain-lain.
Dengan berkurangnya tarif eskalasi di beberapa negara, seharusnya akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha pertanian yang mandiri di Indonesia, meski tidak dapat dipungkiri kalau untuk produk-produk tanaman pangan yang bisa dibudidayakan di wilayah subtropis yang lebih memiliki keunggulan komparatif (seperti kedelai) nampaknya Indonesia sulit untuk dapat bersaing di pasar ekspor sehingga pengembangannya lebih kepada memanfaatkan peluang diversifikasi di basis ekonomi sawah.
Namun untuk beberapa komoditas hortikultura, perikanan dan peternakan yang lebih memiliki sifat market driven, diharapkan mampu menjadi sumber pertumbuhan baru di sektor pertanian. Produk hortikultura yang memiliki keunggulan komparatif adalah produk-produk tropis yang memang berpotensi untuk dikembangkan. Sedangkan produk-produk subtropis, khususnya temperate plants, akan sulit bersaing di pasaran domestik maupun luar negeri.
Di samping peluang yang ditimbulkan oleh perdagangan bebas, Indonesia juga dihadapkan kepada berbagai tantangan dan hambatan yang harus diatasi. Tantangan utama dalam menghadapi persaingan dengan negara lain adalah daya saing yang tinggi. Sejauh ini, keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki Indonesia lebih banyak pada kegiatan produksi yang bersifat resource base daripada kegiatan produksi yang bersifat technological base atau capital base.
Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa dan pendapatan perkapita US $ 1.500, Indonesia jelas merupakan pasar yang cukup besar. Peningkatan pendapatan yang diperkirakan akan terus terjadi, menunjukkan bahwa pasar dalam negeri tidak saja mencerminkan suatu permintaan yang potensial (potential demand), tetapi juga merupakan suatu permintaan efektif (efectif demand). Oleh karena itu potensi besar yang terkandung dari perdagangan dan pasar dalam negeri tidak boleh diabaikan.
Secara umum beberapa hal yang harus diperhatikan dan merupakan tantangan dalam rangka meningkatkan daya saing pertanian adalah :
- Kualitas Produk. Upaya untuk mengembangkan standard mutu hasil-hasil pertanian, baik yang menyangkut bahan mentah maupun hasil olahannya, masih sangat kurang. Meskipun tingkat proteksi dalam bentuk non tarif – terutama yang berbentuk quantitave restriction measure – akan berkurang, tetapi proteksi dalam bentuk persyaratan teknis tampaknya masih akan mewarnai perdagangan hasil pertanian masa datang. Keadaan ini terbentuk dengan adanya tuntutan konsumen akan mutu semakin meningkat sesuai dengan semakin meningkatnya taraf hidup penduduk dunia. Bahkan di negara-negara maju masyarakat menuntut adanya jaminan mutu sejak awal proses produksi hingga ke tangan konsumen.
- Kontinuitas Suplai. Jaminan kontinuitas suplai merupakan salah satu persyaratan mutlak bagi keberlangsungan perdagangan. Keberlangsungan suplai ini akan sangat mempengaruhi pemeliharaan pangsa pasar yang ada, yang tidak jarang lebih sulit dari penetrasi pasar.
- Waktu Pengiriman. Ketepatan waktu pengiriman (on time delivery) juga merupakan tantangan. Masalah ketepatan waktu ini lebih penting lagi bagi produk-produk dalam bentuk sayuran, buah-buahan dan hasil perikanan (yang nilainya lebih tinggi apabila dalam bentuk segar) yang merupakan produk-produk mudah rusak, bulky dan sangat tergantung pada iklim serta musim.
- Teknologi. Dalam sistem pertanian modern, peran teknologi hampir dibutuhkan dalam setiap subsistemnya. Mulai dari pengadaan sarana produksi, proses usahatani, maupun dalam pemasaran hasil. Penyediaan informasi berbagai alternatif teknologi baru yang kompatible merupakan kebutuhan dalam pengembangan pertanian secara menyeluruh.
- Sumberdaya Manusia. Pada sektor pertanian secara keseluruhan dilakukan oleh petani sebagai pelaku utama yang mencakup seluruh kegiatan sub sektor pada sektor pertanian. Kualitas sumberdaya manusia pertanian, baik di tingkat petani maupun pada tingkat manajer, yang belum mencapai standar yang diinginkan, menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas di sektor pertanian.
- Negara Pesaing. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki banyak pesaing yang secara tradisional menghasilkan produk yang sama dengan produk Indonesia yang pada umumnya berupa produk pertanian tropis. Negara-negara ASEAN, Amerika Latin dan beberapa negara Afrika pada umumnya merupakan pesaing Indonesia.
- Insentif Investasi. Mengingat usaha di bidang pertanian memiliki karakteristik berbeda dengan industri pada umumnya, oleh karenanya diperlukan insentif investasi yang dapat merangsang swasta menanamkan modalnya di bidang ini.
BENTUK USAHA
Salah satu bentuk usaha atau kegiatan yang kami tawarkan adalah Budidaya Ternak Sapi Potong dan Perah Tanpa Rumput, dengan pendekatan zero waste dan zero cost.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peradaban saat ini, membuat semakin berkembangnya pola kehidupan manusia. Manusia semakin sadar akan pentingnya nutrisi untuk kehidupan yang lebih baik. Nutrisi tersebut salah satunya adalah ’’Protein Hewani’’.
Protein berperan bagi terbentuknya jaringan-jaringan tubuh baru untuk mengganti jaringan-jaringan yang rusak/usang, perkembangan daya pikir dan pembentukan formasi tubuh yang semakin baik. Salah satu sumber protein hewani adalah daging dan susu.
Masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa tentunya semakin banyak membutuhkan protein hewani. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya lonjakan permintaan yang cukup signifikan akan daging dan susu. Ternak sapi merupakan penyedia protein hewani berupa daging dan susu yang cukup potensial.
Maka sangat ironis ketika Indonesia harus mengalami kelangkaan daging dan susu seperti saat ini, hanya dengan satu alasan yang sangat tidak rasional : harga sapi Australia semakin mahal harganya. Lagi-lagi kita dijebak untuk bergantung pada bangsa lain hanya untuk mencukupi kebutuhan akan gizi kita
Padahal Indonesia yang kaya raya ini menyediakan sarana produksi yang cukup berlimpah untuk usaha pengembangan ternak sapi, baik sapi perah maupun sapi potong. Sayangnya, sumber sapi yang dimiliki Indonesia sebagai plasma nutfah asli sangatlah sedikit. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan dagang dengan negara lain untuk menyediakan bakalan sapi untuk dibudidayakan di Indonesia demi penyediaan kebutuhan protein hewani.
Kekuatan perekonomian masa sekarang maupun masa mendatang akan bertumpu pada ekonomi kerakyatan, yaitu kegiatan perekonomian yang didominasi institusi bisnis yang kecil dan ramping (skala usaha kecil sampai menengah).
Di antara kegiatan perekonomian, usaha yang bergerak pada sektor agribisnis merupakan usaha yang dapat menjadi salah satu pilar perekonomian rakyat termasuk di dalamnya sub sektor peternakan.
Usaha peternakan yang terintegrasi, yang terpadu dengan sub sektor yang lain, diharapkan dapat meningkatkan nilai efisiensi usaha dengan pemanfaatan by product yang diharapkan dapat menurunkan cost of production dan sekaligus meningkatkan pay of income.
Sapi merupakan salah satu jenis ternak yang berperan dalam melakukan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Pengelolaan yang baik dengan pola manajerial yang sempurna akan menghasilkan kinerja ternak yang ideal sehingga diperoleh hasil baik. Hasil yang baik akan memberi banyak keuntungan. Pertama : pemenuhan supply protein hewani. Kedua : pembukaan lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Ketiga : peningkatan nilai penggunaan lahan-lahan pertanian marginal sehingga memberi nilai guna pada lahan secara positif. Keempat : peningkatan kualitas lahan seiring dengan introdusir penggunaan kompos (by product usaha peternakan). Kelima : peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang mengikuti peningkatan income petani peternak atas peternakan yang diusahakannya.
KONSEP LEISA
Semua jenis usaha akan menghasilkan limbah, organik maupun an organik. Pengelolaan limbah yang benar sesuai dengan kaidah penanganan lingkungan akan menjamin kelestarian alam sehingga daya dukung lahan akan tetap terjaga.
Usaha agribisnis termasuk usaha yang akan menghasilkan limbah organik. Limbah organik yang dihasilkan bila dikelola dengan benar akan menghasilkan keluaran untuk menjaga daya dukung lahan dan mampu memberi nilai ekonomis bagi usaha agribisnis tersebut.
Dalam sistem pertanian terpadu atau an Integrated Farming System, aplikasi atau penerapannya mengadopsi Konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture), yaitu kegiatan agribisnis dengan pola masukan dari luar usaha tani serendah mungkin.
Dengan LEISA, bukan saja akan terbentuk konservasi sumber daya sebagai komponen pokok sistem pengelolaan agribisnis yang dilakukan, tetapi juga akan menciptakan keberlanjutan dan kemandirian. Sebab konsep LEISA memiliki sejumlah kelebihan, di antaranya :
- Memacu kemampuan alamiah tanah, tanaman, dan atmosfer dalam mengkonversikan unsur-unsur lingkungan menjadi produk yang berguna bagi manusia.
- Terjadi adaptasi tanaman, ikan dan hewan ternak pada lingkungan hidup setempat melalui seleksi, pemuliaan konvensional, maupun rekayasa genetika.
- Terbangun kelembagaan yang mendukung rasionalisasi usaha tani, pemberian nilai tambah pada hasil, dan kelancaran pemasaran hasil.
- Terjadi keseimbangan antara komersialisasi dan kesejahteraan sosial bagi pelaku atau petani beserta keluarganya.
- Dapat mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaan input produksi sehingga diperoleh hasil yang memadai dan secara ekonomi menguntungkan.
- Terjadi pembatasan ketergantungan pada masukan yang terlalu boros, misalnya pupuk kimia dan pestisida sintetis.
- Menghindarkan terjadinya polusi terhadap air permukaan maupun air tanah.
- Membatasi terjadinya kehilangan hasil panen akibat hama dan penyakit tanaman dengan cara melaksanakan usaha preventif melalui perlakuan yang aman.
- Pemanfaatan sumber energi bersifat sinergis.
Adapun prinsip-prinsip ekologis dalam konsep LEISA antara lain :
- Memperbaiki kondisi tanah sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, terutama mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan di dalam tanah.
- Mengoptimalkan ketersediaan dan keseimbangan daur hara, terutama melalui fiksasi nitrogen, penyerapan hara, serta penambahan dan daur pupuk kimia.
- Membatasi kehilangan hasil panen akibat aliran panas matahari, udara, dan air, dengan cara mengelola iklim mikro, mengelola air, dan mencegah erosi.
- Memanfaatkan sumber genetika (plasma nutfah) yang saling mendukung dan bersifat sinergis, dengan cara mengombinasikan fungsi keanekaragaman sistem pertanaman perdu.
Kondisi yang paling penting bagi kegiatan usaha agribisnis terpadu adalah tercukupinya dan seimbangnya jumlah nutrisi yang diterima oleh tanaman, ikan, dan hewan ternak. Kekahatan dan ketidakseimbangan merupakan kendala utama bagi produksi agribisnis.
Perpaduan atau keterpaduan antara tanaman, ikan, dan hewan ternak, dengan sistem konservasi tanah, air, dan atmosfer menimbulkan mata rantai daur ulang berbagai komponen limbah secara berkesinambungan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan : The Law of Return.
Dengan demikian, kualitas sumber daya alam dan vitalitas keseluruhan agroekosistem dapat dipertahankan. Sementara, kehidupan manusia, tanaman, hewan, ikan, dan organisme tanah dapat ditingkatkan. Hal ini dikarenakan seluruh komponen terkait terkelola dengan baik, sehingga menekan kemungkinan terjadinya kehilangan hara, biomassa, dan energi, serta menghindarkan terjadinya polusi.
THE LAW OF RETURN
The Law of Return mengambarkan tentang saling keterkaitan antar komponen dalam suatu usaha agribisnis. Tanaman dan ternak akan menghasilkan bahan pangan (food) bagi manusia. Limbah sisa panen tanaman dapat digunakan sebagai pakan (feed) bagi ternak. Komponen-komponen di atas (manusia – ternak – tanaman) akan menghasilkan limbah organik yang ditumpuk untuk kemudian diproses melalui proses composting (dekomposisi) sehingga menghasilkan kompos sebagai sumber unsur hara bagi tanaman. Tanaman yang tumbuh subur akibat tersedianya supply unsur hara akan menghasilkan bahan pangan dan pakan berlimpah dan berkualitas bagi kehidupan manusia.
Keluaran yang diharapkan dari sistem LEISA adalah :
- Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal
- Maksimalisasi Daur Ulang (Zero Waste)
- Minimalisasi Kerusakan Lingkungan (Ramah Lingkungan)
- Diversifikasi Usaha
- Pencapaian Tingkat Produksi Yang Stabil Dan Memadai Dalam Jangka Panjang
- Menciptakan Kemandirian
MENGAPA SAPI, TANAMAN PANGAN DAN IKAN?
Untuk hidup sehat, manusia membutuhkan protein, baik protein nabati maupun protein hewani.
Protein nabati terbanyak dihasilkan dari sub sektor tanaman pangan. Sementara protein hewani bisa didapat dari ikan maupun hewan ternak. Para ahli telah membuktikan, protein hewan terbaik adalah yang berasal dari ikan dan daging maupun susu. Penghasil daging dan susu terbaik adalah sapi. Sapi potong untuk penghasil daging, sapi perah untuk penghasil susu.
Dengan demikian, memelihara sapi = kesejahteraan. Sejahtera = Sehat, Cerdas dan Unggul.
Selain itu, permintaan daging dan susu meningkat seirama dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, tingkat pendidikan, perubahan gaya hidup dan arus globalisasi.
Di samping itu, pemerintah menetapkan tahun 2010 Indonesia harus mulai memasuki era kecukupan daging dan susu.
Saat ini, Revolusi Peternakan sedang berlangsung. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk menumbuhkembangkan usaha peternakan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat.
Untuk memenuhi kecukupan daging dan susu, usaha budidaya ternak sapi, baik potong maupun perah, harus terus ditingkatkan. Agar usaha budidaya ternak sapi bisa berhasil dengan baik, diperlukan kreatifitas dan kearifan dalam mengaplikasikan ilmu dan teknologi. Peningkatan usaha budidaya ternak sapi tidak boleh mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Pola integrasi yang inovatif perlu diterapkan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada.
Selain itu, Sapi Memiliki Peran dan Fungsi untuk :
- Mewujudkan ketahanan pangan hewani yang aman dan lestari.
- Mengembangkan agribisnis untuk mengurangi impor dan merebut peluang ekspor.
- Mewujudkan usahatani yang tangguh bagi kesejahteraan petani/peternak.
- Menyediakan ternak untuk keperluan sosial budaya (sebagai tabungan emergensi).
- Pengembangan agrowisata, hobby dan produk diversifikasi lainnya.
Keistimewaan Sistem Pencernaan Sapi
- Ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) mempunyai 4 lambung atau perut dalam sistem pencernaannya, yaitu rumen, reticulum, omasum dan abomasum.
- Dalam rumen ada mikrobia yang penting dalam proses pencernaan karena mampu mengubah bahan pakan berkualitas rendah menjadi pakan berkualitas tinggi. Contoh : Urea mempunyai Nitrogen +/- 46%, tetapi bukan nitrogen pakan. Berkat mikrobia rumen mampu diubah menjadi nitrogen pakan.
- Prinsip pemeliharaan ternak ruminansia : bagaimana bahan pakan bisa lebih lama dalam perut rumen agar bisa dikunyah berkali-kali dan dicerna secara enzimatis dan mekanis.
Sistem Pencernaan Ternak Monogastrik
- Ternak monogastrik (ayam, bebek, babi dan kuda) mempunyai saluran pencernaan atau lambung tunggal seperti halnya manusia.
- Proses pencernaan secara enzimatis mikrobia berlangsung singkat, tidak terjadi proses nggayemi, sehingga nutrisi yang tersedia tidak bisa berlangsung lama. Padahal tidak semua nutrisi bahan pakan bisa terserap dengan sempurna.
- Bahan pakan ternak monogastrik harus benar-benar yang berkualitas baik.
Standar Gizi Nasional
Kebutuhan protein hewani bagi penduduk Indonesia adalah 6,00 gram/orang/hari atau setara dengan 8,60 kg daging/orang/tahun, 2,80 kg susu/orang/tahun, dan 2,85 kg telur/orang/tahun. Tapi realisasinya sampai saat ini baru mencapai 4,30 kg daging/orang/tahun, 2,40 kg susu/orang/tahun, dan 2,70 kg telur/orang/tahun
Peran Sektor Pertanian/Peternakan dalam Membangun Manusia Indonesia yang Sehat, Unggul dan Utuh
Pangan meliputi : Kerbohidrat, Mineral, vitamin dan Protein Nabati. Untuk melengkapi agar menjadi empat sehat lima sempurna, maka dibutuhkan Protein Hewani.
Susunan konsumsi seperti itu akan menghasilkan manusia bergizi, sehat, cerdas, utuh dan unggul.
Permasalahan
- Indonesia tidak punya cukup ’’grain’’, dan tidak tersedia ’’pasture’’ yang memadai.
- Yang dimiliki Indonesia adalah :
- Lahan persawahan dan tegalan.
- Perkebunan dan hutan rakyat yang tersebar di hampir semua wilayah.
- Aneka industri makanan dan agroindustri yang kian berkembang pesat akhir-akhir ini.
- Kekayaan biota liar yang belum terkelola.
Padahal Biaya dalam Industri Peternakan
- Pakan (60–70 %) *
- Bibit (25 %)
- Obat/Vaksin ( 2,5 %)
- Sarana ( 2 %)
- dll ( 0,5 %)
(Catatan : kecuali industri penggemukan, bibit > 80 %)
*) Sebagian besar berupa rumput (hijauan pakan ternak) dan konsentrat impor
Pakan yang merupakan komponen terbesar (70%) dari total biaya produksi yang harus dikeluarkan peternak, kebanyakan hanya habis untuk membeli satu jenis pakan dalam satu siklus produksi, sehingga kandungan nutrient pada pakan yang diberikan tidak selalu sesuai dengan fase pertumbuhan. Hal ini menyebabkan keadaan under feeding untuk beberapa nutrient tertentu, yang pada akhirnya menyebabkan turunnya efisiensi produksi terutama pada Feed Convertion Ratio (FCR) maupun feed cost per kg-nya.
Akibatnya
- Biaya pakan induk > Rp. 4.000/hari
- Jarak beranak > 600 hari (20 bulan lebih)
- Biaya pakan (70%) untuk menghasilkan pedet > 600 X Rp. 4.000 = Rp. 2,4 juta
- Harga jual pedet < Rp. 2,0 juta
- Modal berupa fresh money sulit
- Lahan terbatas
- Sangat sedikit investor yang tertarik
Permasalahan Nutrisi dan Pemenuhan Kebutuhan Pakan Ternak Ruminansia
- Ketidakseimbangan nutrisi menyebabkan pertumbuhan terganggu, produksi daging dan susu rendah, gangguan status reproduksi (calving interval lama, lambat dewasa kelamin, tingkat pedet mati masih cukup tinggi).
- Pemiskinan unsur hara tanah akibat banjir karena konversi lahan hutan yang tidak terarah.
- Ketersediaan hijauan pakan fluktuatif : akibat musim.
- Areal penanaman hijauan pakan semakin menyempit.
- Inovasi bahan pakan lokal belum banyak digali.
Jalan Keluar
- Mencari keunggulan komparatif dan kompetitif, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan pakan bagi ternak, dalam bentuk integrated farming system.
- Salah satu peluang yang tersedia adalah pemanfaatan ’’limbah’’ kegiatan pertanaman dan memanfaatkan biota liar yang belum terkelola dengan baik.
- Memanfaatkan ’’limbah’’ untuk peternakan berarti harus terjadi integrasi atau keterpaduan.
- Prinsip yang melandasi : daur ulang yang sempurna atau The Law of Return.
MANAJEMEN BUDIDAYA
Usaha budidaya ternak sapi sebenarnya bukan merupakan usaha yang sulit. Kunci keberhasilan adalah keseriusan, keinginan untuk maju, kegigihan dan faktor-faktor penunjang lain serta kedisiplinan tenaga kerja.
Dalam hal budidaya ternak sapi, hal-hal yang harus diingat adalah proses usaha harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan ternak akan produktifitas yang baik. Sebagai ilustrasi, ternak yang baru saja masuk kandang harus segera diberikan obat cacing, vitamin A dan B kompleks serta minum. Setelah itu dibiasakan dengan pakan berserat dan penguat. Pemberian pakan selanjutnya dilakukan secara rutin pagi – sore – malam (bila perlu).
Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah rasa ’sayang’ terhadap ternak yang diwujudkan dalam hal memperhatikan tingkah laku ternak, kondisi kesehatan, mencukupi kebutuhan akan pakan dan minum dan hal-hal lain yang membuat ternak semakin nyaman.
Dengan rasio 1 : 6, artinya satu orang pekerja mengurusi enam ekor ternak, dengan catatan tenaga kerja tersebut dilibatkan dalam prosesing pengadaan dan atau pengolahan pakan berserat. Sedangkan rasio 1 : 8 – 10, artinya satu orang pekerja mampu mengurusi 8 – 10 ekor ternak tanpa harus mengadakan dan atau ikut mengolah pakan
Pengelolaan budidaya sapi harus berdasarkan pada filosofi “Total One Day Care”, yaitu usaha yang berkaitan dengan makhluk hidup dan keharusan untuk melakukan perawatan dan pengawasan selama 24 jam dalam satu hari.
Staff dan Karyawan yang cakap dan memiliki rasa memiliki mendalam, di samping kemampuan teknis dalam pengelolaan usaha, mutlak diperlukan. Pelatihan dan pengembangan kemampuan untuk Staff dan Karyawan harus dilakukan pada masa-masa rekruitment demi terciptanya sumberdaya manusia yang mumpuni.
MENGAPA HARUS TERINTEGRASI?
Usaha produksi pangan, termasuk peternakan, tidak boleh mendera dan merusak lingkungan. Tetapi kita jangan sampai melupakan kepapaan dan kelaparan yang diderita oleh banyak penduduk. Lingkungan justru tidak akan dapat diperbaiki dan dilestarikan dalam kondisi masyarakat lapar. Untuk memerangi kelaparan tersebut diperlukan aplikasi ilmu dan teknologi.
Selain itu :
(1) diversifikasi penggunaan sumberdaya optimal.
(2) mengurangi terjadinya resiko usaha.
(3) efisiensi penggunaan tenaga kerja.
(4) efisiensi penggunaan input produksi.
(5) mengurangi ketergantungan energi kimia.
(6) ramah lingkungan.
(7) meningkatkan output, dan
(8) rumahtangga petani yang berkelanjutan.
Belum lagi kalau memperhatikan tuntutan masyarakat di masa datang yang menginginkan BACK TO NATURE dalam segala hal dengan persyaratan utama :
- Food Safety Attributes
- Nutritional Attributes
- Eco-labelling Attributes
Artinya :
- Bahan Pangan yang dihasilkan petani harus aman dikonsumsi.
- Bahan Pangan yang dihasilkan petani harus memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.
- Bahan Pangan yang dihasilkan petani harus diusahakan secara ramah lingkungan.
Sistem Pertanian Terpadu atau Sistem Pertanian Tanpa Limbah
- Mengintegrasikan atau menggabungkan beberapa unit usaha di bidang pertanian yang dikelola :
- secara terpadu
- berorientasi ekologis
- sehingga diperoleh peningkatan nilai ekonomi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi.
Azas Integrated Farming System
- Keterpaduan (pembangunan menyeluruh, lintas sektor dan lintas daerah).
- Kegotongroyongan (menumbuhkan rasa kebersamaan).
- Keswadayaan (usaha kemandirian).
- Partisipatif (mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan hasilnya).
- Terdesentralisasi (terdelegasikan pada semua komponen yang terlibat).
Prinsip Integrated Farming System
- Biomasa yang tersedia dapat dijadikan bahan pakan.
- Spesies atau jenis ternak yang sesuai dengan kondisi agroekologi dan sosial budaya masyarakat.
- Manajemen pemeliharaan harus seimbang antara sistem perkandangan, aspek veteriner, pengolahan dan pemanfaatan kompos, maupun diversifikasi usaha yang kemungkinan timbul.
- Dukungan inovasi teknologi lain dan kelembagaan yang tepat.
Integrated Farming System Berbasis Tanaman Pangan Dan Perkebunan
Keunggulan Sistem Pertanian Tanpa Limbah Atau Sistem Pertanian Terpadu
- Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal.
- Memaksimalkan daur ulang hingga mencapai zero waste (tanpa limbah).
- Meminimalkan kerusakan lingkungan atau ramah lingkungan.
- Keanekaragaman atau diversifikasi usaha.
- Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang.
- Menciptakan kemandirian atau zero cost.
Mengapa Harus ’’Limbah’’?
- Terbuang, bahkan menjadi ‘masalah’ dan ‘kendala’ dalam usaha tani atau agribisnis.
- Pada saat ‘paceklik’ tidak tersedia pakan, tapi pada saat panen ‘terbuang’.
- Kualitas ‘rendah’, harus ‘diperkaya’ secara fisik, dan/atau biologis (probiotik).
- Tersedia dalam jumlah yang memadai.
Potensi Limbah Tanaman Pangan dan Perkebunan di Indonesia :
NO. |
JENIS LIMBAH |
LUAS AREA * |
PRODUKSI LIMBAH ** |
A. Limbah Pertanian | |||
1. | Jerami Padi | 8.470.900 | 21.177.250 |
2. | Terbon Jagung | 2.499.900 | 14.999.400 |
3. | Pucuk Tebu | 1.085.000 | 4.430.000 |
4. | Daun Ubi Kayu | 838.700 | 838.800 |
5. | Jerami Ubi Jalar | 141.400 | 212.100 |
6. | Jerami Kacang Tanah | 479.500 | 1.198.750 |
7. | Jerami Kacang Kedelai | 942.500 | 2.356.000 |
Jumlah | 14.457.900 |
45.022.300 |
|
B. Limbah Agroindustri | |||
1. | Nanas | 1.085.000 | 107.707 |
2. | Ampas Tebu | 838.700 | 9.420.800 |
3. | Ampas Singkong/Onggok | 336.500 | 5.619.618 |
4. | Kakao/Coklat *** | 1.055.700 | 484.193 |
5. | Limbah Kopi | 379.900 | 232.392 |
Jumlah | 3.695.800 | 15.864.710 |
* Statistik Indonesia – 1991,
** Reksohadiprodjo – 1984,
*** Direktorat Jenderal Peternakan – 1992
Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pakan Ruminansia
- Strategi pemberdayaan dan pengusahaan pakan lokal melalui Integrated Farming System dan kesesuaian pola usahatani.
- Strategi implementasi pengadaan suplementasi secara terpadu.
- Strategi penyediaan dan pengembangan usaha pakan secara berkesinambungan.
By Product Agroindustri Sebagai Pakan Ruminansia Dalam Sistem Integrasi
- Sumber serat : pucuk tebu, bagas, sabut sawit, jerami padi, tongkol jagung, kulit kakao, kulit kopi, kulit singkong, enceng gondok, rendeng.
- Sumber protein : ampas tahu, bungkil sawit, bungkil kelapa, bulu ayam, lumpur sawit, susu bubuk afkir.
- Sumber energi : tetes, minyak ikan, onggok, blondo dan roti afkir.
Sistem Pertanian Tanpa Limbah (Zero Waste)
- MANTAP SECARA EKOLOGIS
Penggunaan sumberdaya yang dapat diperbarui
- BERKELANJUTAN SECARA EKONOMIS
Pemenuhan kebutuhan secara ekonomis, tetapi meminimalkan risiko
dan melestarikan sumberdaya
- ADIL SECARA GEOGRAFIS
Sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sehingga kebutuhan dasar
masyarakat terpenuhi, dan hak-hak masyarakat dalam penggunaan
lahan, modal, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin
- MANUSIAWI SECARA IDEOLOGIS
Semua bentuk kehidupan (manusia, tanaman, hewan) dihargai
- LUWES SECARA SOSIOLOGIS
Atas perubahan (inovasi, teknologi, sosial, budaya) masyarakat
mampu Menyesuaikan
PENANGANAN LIMBAH PERTANIAN
Peningkatan produksi ternak sapi memerlukan penyediaan pakan dalam jumlah besar, terutama pakan berserat kasar (roughage) yang murah. Perluasan areal untuk penanaman pakan ternak akan semakin terbatas, terutama pada daerah padat penduduk. Di samping itu penanaman pakan ternak menghadapi beberapa kendala yaitu :
- Memerlukan investasi lahan yang mahal
- Pemeliharaan tanaman yang tidak murah
- Pengangkutan hijauan dari lokasi ke Farm yang kontinyu (tiap hari)
- Hasil panen yang fluktuatif (tergantung musim)
- Penyimpanan yang juga mahal (dalam bentuk silase)
Hasil intensifikasi tanaman pangan di samping menghasilkan bahan pangan, juga menghasilkan limbah berserat yang melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan yang murah.
Limbah yang berasal dari usaha pertanian dapat dimanfaatkan menjadi Pakan Ternak dan Kompos.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas limbah pertanian, baik dengan cara fisik, kimia maupun biologis. Tetapi cara-cara tersebut biasanya mahal dan hasilnya kurang memuaskan. Dengan cara fisik misalnya, memerlukan investasi yang mahal. Secara kimiawi meninggalkan residu yang mempunyai efek buruk. Cara biologis memerlukan peralatan yang mahal (harus anaerob) dan hasilnya kurang disukai ternak (bau amoniak yang menyengat).
Cara baru yang relatif murah, praktis dan hasilnya sangat disukai ternak adalah fermentasi dengan menggunakan mikroba fermentor.
1. Limbah Pertanian sebagai Pakan Ternak
Limbah pertanian yang akan dijadikan sebagai pakan ternak, harus mencukupi standar kualitas yang sesuai dengan kebutuhan ternak dengan memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut :
- Mudah, bahan pakan tersebut tersedia di sekitar lokasi usaha agribisnis.
- Murah, baik dari sisi harga dasar bahan baku dan biaya transportasi dari lokasi sumber bahan pakan tersebut.
- Kontinuitas terjamin, sehingga perubahan komposisi bahan pakan tidak dilakukan secara berulang untuk menjaga tingkat stress ternak.
- Kandungan nutrisi, harus mampu mencukupi kebutuhan dasar ternak untuk berproduksi dan bereproduksi.
Beberapa limbah pertanian yang telah banyak digunakan sebagai bahan pakan ternak di antaranya adalah :
Limbah Pertanian |
Asal |
Bekatul, Menir | Tanaman Padi |
Wheat dan Brand Pollard | Tanaman Gandum |
Ampas Kecap | Industri Kecap Kedelai |
Bungkil Kedelai | Industri Minyak Kedelai |
Bungkil Kelapa | Industri Minyak Kelapa |
Ampas Beer | Industri Minuman |
Ampas Tahu | Industri Pengolahan Kedelai |
Ampas Tempe | Industri Pengolahan Kedelai |
Lumpur Sawit | Industri Pengolahan Minyak Sawit |
Ampas Sagu | Tanaman Sagu |
Pecahan/kulit Kedelai | Tanaman Kedelai |
Jerami Kacang Tanah (rendeng) | Tanaman Kacang Tanah |
Tebon, Tongkol, Klobot Jagung | Tanaman Jagung |
Onggok | Tanaman Singkong |
Bungkil Kacang Tanah | Tanaman Kacang Tanah |
Tetes | Tanaman Tebu |
Cane Top (pucuk tebu) | Tanaman Tebu |
Pemberian limbah pertanian sebagai pakan ternak harus diatur komposisinya agar tidak terjadi dismetabolisme dalam alat cerna ternak.
2. Jerami Fermentasi
Salah satu limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak adalah jerami padi yang telah difermentasi. Fermentasi dilakukan untuk dapat mengurai atau melonggarkan ikatan struktur serat sehingga nutrisi dapat tersedia bagi ternak.
Fermentasi Jerami padi merupakan salah satu cara pemanfaatan limbah pertanian dan peningkatan kualitas yang cukup praktis dalam proses dan pemberiannya, relatif mudah menyediakan bahan baku, proses fermentasi berlangsung aerob, dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama.
Hasil analisa laboratorium jerami fermentasi :
KANDUNGAN |
JERAMI SEGAR |
JERAMI FERMENTASI |
Air |
59,16 |
10,17 |
Abu |
24,50 |
19,80 |
Protein Kasar |
4,30 |
9,03 |
Lemak |
2,50 |
1,52 |
Serat Kasar |
33,8 |
31,80 |
3. Limbah Pertanian sebagai Bahan Baku Kompos
Limbah pertanian dapat digunakan sebagai bahan baku kompos dengan cara mencampurkannya dengan kotoran ternak maksimal 25% dari berat total bahan baku kompos. Komposisi limbah pertanian sebagai bahan baku kompos, setelah terdekomposi-si akan memberi sumbangan kandungan humus bagi kompos matang.
4. Penataan Lokasi Usaha berwawasan Lingkungan
Lingkungan usaha Agribisnis akan semakin baik manakala kita tidak hanya berkon-sentrasi pada sisi bisnis utama semata, tetapi kita juga dapat melakukan penataan estetika lingkungan usaha. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengusahakan kegiatan yang saling mendukung, seperti :
- Pertanian Organik
Beberapa lahan kosong yang tersedia di sekitar kandang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian organik, selain dapat memberi income tambahan dan nilai estesika.
- Tanaman Keras dan Buah-buahan
Tanaman buah-buahan bernilai ekonomis tinggi akan memberi tambahan penda-patan dan variasi suasana. Juga dengan ditanamnya tanaman keras lain (seperti : jati, sengon) yang dapat menopang biaya penyusutan sarana bila saat rehabilitasi atau renovasi tiba.
PENANGANAN LIMBAH PETERNAKAN
Limbah yang dihasilkan dari usaha peternakan terutama adalah feses (kotoran dan urine) selain sisa pakan dan lingkungan peternakan itu sendiri. Limbah yang paling banyak mendominansi usaha peternakan adalah limbah organik. Limbah organik sendiri merupakan kumpulan struktur yang saling mengikat sehingga menjadi ikatan kompleks yang secara visual terkesan sulit untuk diurai.
Usaha Ternak Sapi Perah dan Sapi Potong akan menghasilkan keluaran berupa air susu dan daging yang diupayakan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan protein asal hewan. Demikian pula dengan usaha pertanian disekitar lokasi peternakan yang akan menghasilkan bahan pangan (food) bagi manusia.
Baik usaha peternakan maupun usaha pertanian juga komunitas manusia yang bergelut dalam sistem usaha agribisnis itu akan menghasilkan limbah organik berupa feses (kotoran dan urine) dan sisa panen. Sisa panen tanaman pertanian, dengan pengelolaan yang baik akan mampu menjadi pakan (feed) untuk ternak.
Limbah organik dari usaha agribisnis itu dapat diolah menjadi kompos (pupuk organik) yang memiliki nilai unsur hara tinggi untuk menunjang kesuburan tanah yang nantinya berperan besar bagi kehidupan tanaman selanjutnya.
Kotoran ternak sapi yang merupakan hasil metabolisme dapat diolah menjadi pupuk organik yang mampu meningkatkan produktifitas lahan melalui peningkatan unsur hara dan perbaikan struktur tanah. Lahan pertanian di Indonesia saat ini telah mengalami pengurusan yang hebat dengan semakin banyaknya introdusir pupuk kimia dan pestisida sehingga residu bahan-bahan sintetis tersebut terakumulasi, mengganggu dan menurunkan produktifitas lahan.
Kotoran ternak yang didekomposisi menjadi pupuk organik, dilakukan melalui proses aerob selama 35 hari dengan pembalikan sebanyak lima kali (tujuh hari sekali). Proses pembuatan dilakukan seperti proses di bawah ini :
1. Prinsip Dekomposisi
Bahan dasar pembuatan pupuk organik adalah kotoran sapi (faeces dan urine) dan serbuk gergaji yang didekomposisi dengan Stardec ditambah dengan bahan-bahan untuk memperkaya kandungan pupuk organik seperti abu dan kalsit. Kotoran sapi dipilih karena memiliki kandungan nitrogen, pottassium dan materi serat yang tinggi. Kotoran sapi merupakan kotoran ternak yang baik untuk kompos, karena tidak ada masalah polusi logam berat dan antibiotik. Kandungan phospor yang rendah harus disuplai dari sumber lain. Prinsip yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik adalah bahwa proses dekomposisi yang merupakan proses pengubahan limbah organik menjadi pupuk organik melalui aktifitas biologis pada kondisi yang terkontrol.
Dekomposisi pada prinsipnya adalah menurunkan C/N ratio limbah organik, membunuh biji tanaman liar (gulma), bakteri-bakteri patogen dan membentuk suatu produk yang uniform (seragam) yaitu pupuk organik. C/N rasio merupakan faktor pembatas pada proses dekomposisi.
Selama proses dekomposisi, mikroorganisme membutuhkan karbon untuk menyediakan energi dan Nitrogen yang berperan dalam pemeliharaan dan pembentukan sel-sel tubuh. C/N rasio yang baik berkisar antara 20 : 1 sampai 30 : 1, dan akan stabil saat mencapai perbandingan 15 : 1. C/N rasio yang terlalu tinggi mengakibatkan proses berjalan lambat karena kandungan nitrogen yang rendah, sebaliknya bila C/N rasio terlalu rendah akan mengakibatkan terbentuknya amoniak sehingga nitrogen akan hilang di udara. C/N rasio akan mencapai kestabilan saat proses berjalan sekitar lima minggu. Kondisi dekomposisi harus dibuat sedemikian rupa sehingga proses berjalan sempurna.
Kondisi yang terkontrol ini sangat penting agar proses dekomposisi berlang-sung secara kontinyu sampai terbentuk pupuk organik yang stabil dan berkualitas tinggi. Apabila kondisi tidak terkontrol akan terjadi pembusukan dan putrefaksi sehingga timbul bau yang menyengat (offensive odors), timbulnya nematoda, worm dan insekta.
Kondisi yang terkontrol ini terutama adalah :
- Kadar air
Kadar air dipertahankan pada 60 %. Kadar air lebih dari 60 % akan menimbulkan kondisi yang anaerob dan bila kurang dari 60 % maka bakteri-bakteri pengurai tidak akan berfungsi.
- Aerasi
Prinsipnya dekomposisi adalah aerob. Suplai oksigen pada timbunan kompos harus cukup. Untuk mencukupi oksigen pada timbunan kompos dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan pembalikan, force aeration (dapat dilaku-kan dengan kompresor), efek cerobong dan sebagainya.
- Temperatur
Temperatur penting agar terjadi penurunan C/N ratio, membunuh weed seeds, bakteri patogen, parasit dan telur-telurnya. Temperatur yang terjadi selama proses dekomposisi berkisar 60 – 70 oC selama minimal 3 minggu. Selama terjadi proses penurunan C/N ratio akan terjadi pembebasan CO2 yang akan diambil oleh tanaman berkhloropil menjadi Karbohidrat, Protein, Lemak dan sebagainya.
Pada dasarnya dekomposisi adalah kunci kehidupan dibumi. Apabila tidak terjadi dekomposisi, kehidupan dibumi akan musnah karena persediaan CO2 sebagai bahan dasar pembentukan karbohidrat tidak ada.
2. Proses Pembuatan
Kotoran sapi dan serbuk gergaji (dosis 5 – 10%) diambil dari kandang kemudian ditampung di dalam bak penampung. Bak penampung dimaksud adalah sebidang tempat yang ternaungi dengan alas tanah berpasir.
Di atas tumpukan kotoran sapi dan serbuk gergaji tersebut ditabur Stardec dengan dosis 0,25% dari berat bahan baku, Abu pembakaran bahan organik dengan dosis 10% untuk meningkatkan suplai unsur Kalium dan kalsit (2%). Keseluruhan bahan tersebut dicampur secara merata.
Setelah lebih kurang satu minggu, tumpukan dibalik untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan lalu dipindahkan ke bak penampung kedua. Pada tahap ini diharapkan terjadi peningkatan suhu sampai 70°C selama 3 (tiga) minggu untuk mematikan pertumbuhan biji gulma sehingga pupuk organik yang dihasilkan dapat bebas dari herbisida.
Setelah tiga minggu dalam bak penampung kedua, tumpukan dibalik lagi untuk dipindahkan ke bak ketiga selama satu minggu. Satu minggu kemudian, pupuk organik telah matang dengan warna pupuk hitam kecoklatan bertekstur remah tak berbau. Lalu pupuk diayak/disaring untuk mendapatkan bentuk seragam serta memisahkan dari bahan yang tidak diharapkan (misalnya batu, potongan kayu, rafia) sehingga pupuk organik yang dihasilkan benar-benar berkualitas. Selanjutnya pupuk organik siap dikemas dan siap diaplikasikan ke lahan sebagai pengganti pupuk kimia.
3. Kandungan Pupuk Organik
Hasil analisa proksimat pupuk organik adalah :
Moisture 35-40 %
Seedling Experiment Acceptable
Total N > 1,81 %
P2O5 > 1,89 %
K2O > 1,96 %
CaO > 2,96 %
MgO > 0,70 %
C/N Rasio < 16,0 %
Bakteri Patogen Bebas
4. Perbedaan antara Kompos Segar dan Matang
No. |
Kompos Segar |
Kompos Matang |
1. |
Nitrogen dalam bentuk ion amonium |
Nitrogen dalam bentuk ion nitrat |
2. |
Sulfur sebagian bentuk ion sulfit |
Sulfur dalam bentuk ion sulfat |
3. |
Diperlukan oksigen jumlah tinggi |
Perlu oksigen jumlah rendah |
4. |
Konsentrasi hara tinggi |
Konsentrasi hara rendah |
5. |
Hara tidak tersedia untuk tanaman |
Hara tersedia untuk tanaman |
6. |
Konsentrasi vitamin dan antibiotik rendah |
Konsentrasi vitamin dan antibiotik tinggi |
7. |
Konsentrasi bakteri tanah dan fungi tinggi yang mendekomposisi bahan organik |
Konsentrasi bakteri tanah dan fungi lebih tinggi dari penguraian senyawa yang terdekomposisi |
8. |
Persentase senyawa organik yang tdk termineralisasi tinggi |
Aras mineralisasi 50% |
9. |
Kapasitas pengikatan air rendah |
Kapasitas pengikatan air tinggi |
10. |
Tidak ada komplek lempung-humus |
Terbentuk komplek lempung-humus |
11. |
Tidak kompatibel dengan tanaman |
Kompatibel dengan tanama |
5. Fungsi Pupuk Organik
- Perangsang Tumbuh dan Pengkondisi Keadaan Tanah.
- Memperbaiki Porositas Tanah dan Memperbaiki Agregasi Tanah.
- Meningkatkan Permeabilitas Tanah dan Meningkatkan Daya Ikat Air.
- Meningkatkan Produktivitas Tanah, yang berimbas pada : Pertumbuhan, Hasil Panen, Rasa dan Aroma Produk
6. Manfaat Penggunaan Pupuk Organik
-
Mampu menggantikan atau mengefektifkan penggunaan pupuk kimia (anorganik) sehingga biaya pembelian pupuk dapat ditekan
-
Bebas dari biji tanaman liar (gulma) dan bakteri pathogen
-
Tidak berbau dan mudah digunakan
-
Menyediakan unsur hara yang seimbang dalam tanah
-
Meningkatkan populasi mikrobia tanah sehingga struktur tanah tetap gembur
-
Memperbaiki derajat keasaman (pH) tanah
-
Peningkatan produksi antara 10 – 30 %
7. Ciri-ciri Pupuk Organik Berkualitas
- Bebas Mikroorganisme Pathogen
- Bebas Parasit dan telur-telurnya
- Bebas Biji Tanaman Liar
- bebas Racun Tanaman, seperti :
- Terpentin
- Asam Fenol Karboksilat
- Asam Lemak Mudah Terbang, antara lain :
- Asam propionate dan Asam Butirat
- Asam isobutirat dan Asam isovalerat
- Asam benzoate
- Bebas Bau, seperti :
- Amoniak
- Hydrogen Sulfida
- Metil Merkaptan
- Dimetil Sulfida dan Dimetil Disulfida
8. Percepatan Pengembangan dan Penggunaan Pupuk Organik
Menilik paparan di atas, pemanfaatan limbah organik sektor pertanian (termasuk di dalamnya sub sektor peternakan) digunakan untuk memberi nilai positif bagi usaha agribisnis yang dilakukan. Bahan organik yang dulunya menjadi ‘momok’ menakutkan seakan ‘tereinkarnasi’ menjadi potensi baru yang dapat dikembangkan sehingga menjadi cabang usaha atau masukan positif baru bagi usaha agribisnis yang dilakukan.
Perlu dilakukan sistem supervisi dan monitoring proses dekomposisi sisa bahan organik agar menjadi sumber daya potensial yang meliputi :
- Menekankan upaya komposting bahan organik pada ’’economic aspect of composting’’, sehingga pola komposting bahan organik lebih mengarah atau terfokus pada aspek managerial.
- Proses komposting sisa bahan organik diupayakan untuk dilakukan sedekat mungkin dengan sumber sisa bahan organik karena sifat bahan organik adalah ‘bulky’. Nilai positifnya adalah efisiensi transportasi.
- Proses komposting diharapkan dapat mengambil tenaga kerja dari luar (musiman) karena sifat proses komposting yang masih merupakan pekerjaan baru dan bersifat musiman. Mempekerjakan Tenaga Kerja tetap akan menimbulkan tam-bahan tingkat kerumitan, biaya, manajemen dan waktu.
- Kemudahan kerja proses dekomposisi Lembah Hijau Multifarm menunjuk satu Staf yang diberi tugas untuk mengulang pengertian mereka atas pengarahan yang diberikan. Lebih sedikit waktu yang dibutuhkan untuk mengulang perintah daripa-da mengulang pekerjaan.
- Staf yang ditunjuk dipastikan dapat memikul tanggungjawab untuk dapat melaku-kan pekerjaan dengan sepenuh hati.
- Upaya peningkatan hasil dan kontrol kualitas dapat dilakukan pula dengan mem-perbanyak pendelegasian. Karena jumlah dan kualitas akan lebih dapat dikendalikan bila didelegasikan dibanding bila ’’top management’’ melakukan sendiri, di samping memberi dan menambah konstribusi untuk orang lain.
- Pendelegasian wewenang akan lebih memberi hasil terbaik jika dibarengi dengan nilai kontrol yang sempurna, karena perbaikan atas kekeliruan atau kesalahan dan pemahamam terhadap nilai kerja akan semakin baik.
- Proses komposting sebaiknya dibuat alur produksi sehingga pada setiap titik alur dapat dilakukan pengontrolan kuantitas dan kualitas.
- Titik terpenting pada kompos yang telah tersosialisasi kepada konsumen adalah menciptakan ‘mata’ lain untuk menilai kompos yang telah dibuat. ‘mata’ lain se-ring lebih jeli dibandingkan dengan ‘mata’ yang selalu berada dalam sistem pro-duksi. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya klaim-klaim dari konsumen yang berakibat turunnya kredibilitas mitra, di samping penghematan bila harus menarik kompos yang sudah dikirim ditambah dengan serentetan pekerjaan lain yang lebih merumitkan.
- Kompos yang telah terdekomposisi, selain monitoring dan supervisi terhadap tahapan proses perlu dilakukan analisa laboratorium untuk monitoring kualitas hasil sebelum disosialisasi dan didistribusikan kepada konsumen.
9. Perjalanan Sosialisasi Pupuk Organik
Hal pertama yang dilakukan dalam melakukan sosialisasi Pupuk Organik yaitu, merubah paradigma petani Indonesia yang telah menerima kemudahan penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Pekerjaan tersebut sangat tidak mudah.
Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain :
- Pertama, membuat pupuk yang berkualitas sehingga mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro serta mampu memperbaiki dan menjaga kondisi lahan pertanian.
- Kedua, membuat demonstrasi lahan untuk beberapa komoditas pertanian tentang tatacara penggunaan pupuk organik dan pestisida alami. Hasil demonstrasi akan menemukan formula dosis yang sesuai berdasarkan kondisi lahan dan jenis komoditas pertanian.
- Ketiga, memberi pelayanan ‘lebih’ bagi para pengguna pupuk dan pestisida alami sehingga mereka merasa terperhatikan dan memiliki salah satu sumber penyelesaian masalah mereka.
- Keempat, simbiosis mutualisma antara produsen dan konsumen. Misalnya, kita membantu mensosialisasikan produk organik yang dihasilkan petani dan petani membantu mensosialisasikan pupuk organik dan pestisida alami yang kita hasilkan.
- Kelima, mengajak petani dan peternak yang memiliki limbah organik untuk diolah menjadi pupuk organik demi kepentingan lahan mereka.
SASARAN DAN TARGET PERTANIAN TERPADU
- Meningkatkan kesejahteraan sosial – ekonomi penduduk miskin melalui upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
- Menanggulangi situasi dan kondisi yang menyebabkan timbulnya kemiskinan.
- Memperkuat kemampuan penduduk miskin untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kelompok Sasaran :
- Penduduk miskin adalah anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah dan terbatas kemampuannya dalam mendapatkan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
- Penduduk miskin adalah anggota masyarakat yang terbatas aksesnya dalam menghadapi masalah mendesak yang segera memerlukan penanganan dan bantuan.
RUANG LINGKUP
- Mengembangkan kegiatan sosial – ekonomi penduduk miskin di wilayah pedesaan.
- Membangun dan mengembangkan potensi ekonomi melalui koperasi.
- Menyediakan kebutuhan pokok dan pelayanan dasar.
- Penciptaan suasana yang mendukung upaya penanggulangan kemiskinan.
Jabarannya :
- Peningkatan penciptaan dan perluasan kegiatan pembangunan agar tersedia cukup banyak aktifitas yang menghasilkan secara materiil.
- Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keterampilan.
- Melakukan pembimbingan dan pendampingan untuk memacu peningkatan pendapatan penduduk miskin.
PENDEKATAN
- Keterpaduan (pembangunan menyeluruh, lintas sektor dan lintas daerah).
- Kegotongroyongan (menumbuhkan rasa kebersamaan).
- Keswadayaan (menitikberatkan kegiatan usaha yang berdasarkan pada kemandirian).
- Partisipatif (melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan hasilnya).
- Terdesentralisasi (setiap kegiatan terdelegasikan kepada semua komponen yang terlibat).
Jabarannya :
- Orang miskin serba kekurangan sehingga merasa tidak berdaya.
- Karena pendapatannya rendah, maka daya belinya juga rendah.
- Ketakberdayaan mengesahkan mereka untuk tidak berpendidikan memadai.
- Ketidakcukupan mentolerir mereka untuk seenaknya mensikapi kesehatan.
- Ketidakmampuan memaklumkan mereka untuk berproduktivitas rendah.
PENUTUP
Manajemen penataan lingkungan yang baik pada usaha agribisnis sangat diperlukan untuk melahirkan aktifitas yang mampu meningkatkan daya dukung lahan dengan termanfaatkannya limbah organik sisa usaha menjadi kompos, sehingga akan memberikan suasana yang nyaman, menghilangkan gangguan karena limbah usaha, nilai estetika tinggi dan kemudahan dalam melakukan aktifitas.
- Mengaplikasikan ‘zero waste’ sekaligus ‘zero cost’
- Berdasarkan pengalaman di lapangan :
- Secara teknis layak, secara ekonomi feasible, sesuai dengan sosbud masyarakat, ramah lingkungan
- Model integrasi dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ, ada siklus biologis yang tidak terputus.
- Integrasi meningkatkan nilai efisiensi usaha dengan pemanfaatan by product sehingga akan menurunkan cost of production dan sekaligus meningkatkan pay of income
Yogyakarta, Juni 2009